Siapa sangka, bermula dari broadcast BlackBerry Messenger, Anas Pandu Gunawan yang dulu aktif sebagai agen asuransi dan wartawan, kini populer sebagai juragan wingko. “Saat di asuransi, saya sempat bertemu kawan. Dia cerita kalau saat itu sedang usaha wingko. Awalnya biasa saja. Jadi kaget saat dia cerita, penghasilannya sudah mencapai puluhan juta rupiah,” kenang Pandu.
Waktu itu, lanjutnya, September 2015, setelah pulang ke rumah, ia iseng mengirim pesan ke beberapa kawan. “Intinya menawarkan oleh-oleh wingko Surabaya,” katanya. Tak disangka, broadcast ini mendapat respons positif. Bahkan ada yang pesan dan minta diantar ke rumah. Pandu yang tak memiliki stok apalagi basic membuat wingko langsung panik. Ia langsung menghubungi kawannya yang memproduksi wingko tadi.
“Dari dia saya belajar membuat wingko. Tapi untuk menjawab order kawan-kawan, saya beli dari dia,” ujar Pandu. Beberapa pembeli mengaku, ukuran wingko yang ada saat itu kelewat besar. Bahkan ada celetukan, wingko itu masih porsi laki-laki alias terlalu besar. Ada lagi yang bilang, rasanya terlalu manis, khas wingko Lamongan, Jawa Timur.
Berbekal masukan yang ada, Pandu pun mulai bergerilya membenahi produk wingkonya. Dengan modal tak sampai Rp 1 juta, ia mulai mengumpulkan alat produksi seperti kompor dan teflon. Lewat beberapa eksperimen dan penyempurnaan rasa, lahirlah Wingko Soerobojo.
Ukurannya lebih mungil, hanya berdiameter enam centimeter. Adonan kelapa dan cita rasa pun tak melulu didominasi rasa manis. “Agar lebih akrab dengan lidah orang Surabaya yang kurang suka dengan rasa gula,” tegas Pandu.
Sebagai orang yang biasa beraktifitas dengan strategi marketing, Pandu menyiapkan jurus jualan yang berbeda. Di awal kiprahnya, ia sempat mendeklarasikan diri sebagai germo alias gemar menjual wingko. Tentu saja jurus ini jadi kontroversi. Beberapa kenalan langsung menegur atau sekadar mengingatkan atas nama kesantunan dan etika.
Tak mau menyerah, Pandu kemudian meluncurkan jurus baru. Memberi nama wingko mungilnya dengan nama-nama wanita. Lihat saja, ada Wiria (wingko mini original) yang dijual Rp 25 ribu per boks, Wiwien (wingko toping wijen), Rp 30 ribu per boks, Winona (wingko mini toping almond) Rp 30 ribu per boks, Wike (wingko mini toping keju) Rp 30 ribu per boks, Kopi (wingko pingpong) Rp 25 ribu per boks, dan Widuri (wingko rasa durian) yang dibandrol Rp 30 ribu per boks. Satu boks berisi 12 wingko.
Untuk pembeli yang biasa menikmati ukuran besar, diameter 23 centimeter, ada Wimbo alias wingko jumbo yang dipasarkan dengan harga Rp 40 ribu per boks.
Bagi Pandu, bisnis tak melulu bicara produk. Tapi strategi marketing. Hasilnya, kini penjualan Wingko Soerobojo sudah merambah Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jakarta, bahkan Kalimantan. Produknya juga sudah terbang ke Hongkong, Singapura, bahkan Abu dhabi, ibu kota Uni Emirat Arab. “Omset Wingko Soerobojo lumayan, Rp 2 juta per hari. Padahal 100 persen masih mengandalkan penjualan online,” aku pengusaha kuliner yang kini menjajaki produk kue lumpur ini.
“Kuncinya pada pembangunan branding. Produk yang bisa diterima pasar adalah yang memiliki branding kuat. Bukan packaging bagus. Itu sebabnya saya bangun branding lebih dulu,” aku Pandu.
Bagaimana jika bisnisnya ditiru orang lain? “Ketika ditiru orang lain, bagi saya, itu pujian yang tulus. Bahwa secara tidak langsung mereka menganggap bahwa bisnis saya prospektif. Saya tidak pernah takut dengan kompetitor,” tegasnya.
Nah, berminat menikmati Wingko Soerobojo? Buruan klik fanspagenya di Bakoel Wingko Soerobojo. Sekalian diingat ; Cak Rojali omahne Joyoboyo. Mampir Suroboyo, ojo lali Wingko Soerobojo.
naskah dan foto : hendro d. laksono