Ditengah maraknya pengaruh globalisasi, budaya dan peradaban bangsa bisa saja jadi taruhannya, jika tak benar-benar dijaga. Bahaya jika tradisi dan adat istiadat mulai enggan tampil, juga kuliner khas daerah yang mulai tenggelam.
Salah satunya Ladu, kuliner Jawa Timur satu ini memang tak banyak diketahui. Tapi untungnya, resep peninggalan nenek moyang itu masih bisa bertahan di Kampung Sawo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Sumiati (55) dibantu satu tetangganya konsisten mempertahankan produksi Ladu di rumahnya. Bahkan, sejak puluhan tahun silam, ia sudah membuatnya untuk dijual. Mengingat jajanan mirip kerupuk ini banyak diburu masyarakat sekitar jika sudah menginjak Ramadhan. Selain sebagai suguhan Hari Raya Idul Fitri, Ladu juga biasa dipesan untuk hajatan pernikahan dan sunatan.
“Saya sampai kualahan dan nolak pesanan. Ya gimana lagi, bikinnya kan masih pakai tangan, manual. Kalau capek ya saya tolak,” terang perempuan ini sambil membalik adonan Ladu yang dikeringkan.
Wajar saja. Mengingat proses pembuatan Ladu, tak serenyah saat memakannya. Campuran beras ketan murni dan gula pasir, ditambah sedikit pewarna warna merah, harus melalui proses panjang. Beras ketan sebagai bahan pokok harus murni, tidak boleh ada campuran berasnya. Tak jarang bila banyak pesanan, Sumiati meminta tolong tetangganya untuk memilih ketan yang bercampur beras, “nanti satu kilo-nya saya kasih 2500 rupiah,” tuturnya dengan senyum kecil.
Beras pilihan itu nantinya akan di kukus selama satu jam, lalu dicampur gula dan pewarna. Setelah semua bahan tercampur, barulah di kukus kembali selama dua jam. Tak berhenti sampai disitu, bahan-bahan yang menyatu ditumbuk supaya lebih halus. Proses menumbuk ini diakui Sumiati sangat berat, selain ketelitian, sangat dibutuhkan kekuatan tangan karena tidak ada mesin khusus untuk menghaluskannya. Setelah halus, adonan siap di betuk persegi panjang tipis dan kemudian di jemur, di potong kotak-kotak, dan akhirnya di goreng dengan pasir. Menggunakan bahan-bahan berkualitas, serta membutuhkan tenaga ekstra membuat harga Ladu sedikit tinggi, Untuk satu toples besar Ladu, dibandrol Rp 35rb.
Nama Ladu sendiri tercipta karena perubahan bentuk adonan Ladu kering saat digoreng, “namanya Ladu, soalnya waktu digoreng pakai pasir bentuknya mlentu-mlentu (menggelembung),” sergah Sumiati sambil tertawa.
Minimnya penjual Ladu di Mojokerto, membuat Sumiati menjadi agen penyedia Ladu terlaris, meskipun tidak sedang perayaan Hari Raya. Dalam satu bulan, ia bisa mengolah 200kg ketan, dan 3,5 kg gula pasir.
Kejujuran menggunakan bahan-bahan asli juga membuat Ladu bikinan Sumiati makin diincar, “tetangga dekat rumah ibu saya (Japanan) juga buat. Tapi tidak selembut punya bu Sumiati ini, tidak tau kenapa,” ujar laki-laki asal Jakarta yang sedang pulang kampung ke Japanan, Mojokerto.
Selain memiliki rasa manis, ladu juga renyah. Jajanan lawas ini kebanyakan diminati kalangan sepuh dan anak-anak balita, karena teksturnya yang lembut dan hancur saat sudah dimulut penikmatnya.
Meskipun tidak menggunakan bahan pengawet, makanan ini bisa tahan sampai satu hingga dua bulan. Tergantung cara penyimpanannya. “Jajanan tahan lama, Tapi harus diletakkan di tempat tertutup, biar tidak ayem (melempem),” jelas Asmuna, salah satu penggemar Ladu.
naskah dan foto : pipit maulidiya