Jawa Timur terkenal dengan aneka makanan dan minuman yang menggoda selera. Salah satunya adalah dawet yang termasuk jenis kuliner legendaris dari propinsi ini. Ada banyak macam dan asal daerah dari dawet. Misal saja Dawet Jabung dari Ponorogo, Dawet Blauran dari Surabaya, Dawet Siwalan dari Gresik atau dari Lamongan dan Tuban, serta masih banyak lagi.
Bagaimana dengan nama Dawet Pleret? Belum lengkap rasanya bagi Anda pecinta minuman dawet bila tidak mencoba kuliner khas dari Kota Blitar satu ini. Di Kota Patria, Dawet Pleret dapat ditemui cukup terbatas. Yakni hanya dapat kita jumpai di kawasan alun-alun kota saja. Di sekitar kawasan tersebut banyak pedagang yang menjajakan Dawet Pleret. Mulai dari yang bersepeda hingga yang berupa toko.
Seperti halnya penjual Dawet Pleret Blitar, Bu Putri. Mulai pukul 10 pagi hingga sore hari, ia setia melayani penikmat kuliner ini. Soal harga seporsi Dawet Pleret terbilang cukup murah, hanya Rp 3.500 saja. Lidah kita akan dijamin tergiur dengan kesegaran dan kelezatannya. Karena dawet ini dapat dinikmati dengan es batu. Sehingga sangat pas saat disantap di siang hari yang panas.
Penyebutan nama dawet ini sendiri diambil dari nama sesepuh Kota Blitar yakni Kyai Pleret. Sehingga nenek moyang yang sudah lama membuat dawet ini dengan mudahnya menamakan Dawet Pleret. Yang membuat khas dari Dawet Pleret adalah bola-bola pleret yang terbuat dari tepung beras dan dibentuk bulat-bulat. Bahkan untuk lebih menarik pembeli, pleret ini diberi warna merah, putih dan hijau. Dan, saat digigit bagian dalam bola-bola pleret ini berlubang.
Dalam seporsi Dawet Pleret, bola-bola pleret terlebih dahulu disajikan dalam mangkuk atau gelas, lalu dicampur dengan agar-agar putih dan diberi santan. Kemudian ditambahkan gula jawa asli sebagai pemanis rasa. Namun, belakangan penjual Dawet Pleret ada yang mengembangkan penyajiannya dengan menambahkan serabi. Sehingga seiring waktu pula ada yang menyajikan serabi dan pleretnya secara terpisah. Tinggal Anda pilih saja, Dawet Pleret plus serabi atau terpisah.
naskah: m.ridlo’i | foto: farid rusly