Di tengah kritik pedas tentang budaya baca masyarakat kita yang diangap lemah, toko buku di Surabaya tetap melaju. Peminatnya pun sudah melebihi batas geografis Kota Surabaya.
Matahari bergerak ke arah barat. Cahayanya yang tak lagi menyengat, menerobos pintu dan jendela bangunan Toko Buku Togamas Petra. Caroline membungkuk, lalu jari-jari lentiknya mengambil sebuah novel di meja best seller. Sesaat kemudian, mahasiswi sebuah peruruan tinggi swasta di bilangan Siwalankerto, Surabaya itu mencermati harga yang tertera di halaman belakang. Sejurus saja, senyumnya langsung merekah.
Dengan ringan, ia melangkah ke meja kasir dan menyodorkan kartu kredit. Petugas melayani dengan ramah. Senyum Caroline kian merekah. Kali ini, ia membiarkan sebaris gigi putihnya nampak. Semabri menunggu proses pembayaran, ia melirik ke arah lain.
Melihat seorang wanita muda sibuk memilih buku di koleksi bacaan anak. Sementara putri semata wayangnya, asyik membolak-balik majalah dan komik. Sesekali ada dialog kecil. Hangat. Sehangat sore hari yang tersisa.
Gambaran kecil ini sering terjadi di Toko Buku Togamas Petra, Jl Pucang Anom, Surabaya. Meski tak seramai yang di Togamas Jl Diponegoro, toko buku satu ini diam-diam kerap jadi jujukan mereka yang doyan belanja buku.
“Saya suka beli buku di sini. Karena suasananya asyik. Bisa dipakai mengisi waktu luang, rekreasi,” kata Caroline. Dara asal Lumajang, Jawa Timur ini bahkan mengaku, pernah, saat liburan panjang tiba, ia sempatkan diri datang ke Surabaya.
“Kalau orang Surabaya berwisata alam ke Lumajang, saya wisata belanja buku ke Surabaya,” katanya, disusul tawa lepas yang renyah.
“Kadang ke Kota Malang, tapi lebih sering ke Surabaya. Kalau nggak ke Togamas Petra, ya Diponegoro, atau ke Gramedia Tunjungan Plasa. Sekalian belanja yang lain,” celotehnya.
Gaya Hidup
Data Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) menyebut, budaya baca masyarakat Indonesia tergolong rendah jika dibanding negara-negara lain. Disebutkan, budaya baca masyarakat kita terendah di antara 52 negara lainnya di kawasan Asia Timur.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan lain, 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.
“Untuk itu, Togamas perlu menggunakan pendekatan khusus. Yaitu memasarkan buku dengan spirit buku murah untuk semua,” kata Johan Budhie Sava, Direktur Utama Togamas. Dengan begitu, lanjutnya, harga buku bisa terjangkau.
“Karena upaya mencerdaskan masyarakat itu tanggung jawab kita semua,” katanya.
Selain itu, Johan juga terus membuat inovasi-inovasi baru di jaringan toko bukunya. Misal, dengan memberi diskon seumur hidup hingga 30%, memberi fasilitas tambahan di toko buku Togamas, mulai dari cafe, hingga koneksi free internet.
“Sebenarnya diskon ini bukan strategi bisnis. Ini sangat filosofis. Kami berpikir, bahwa dalam kondisi sekarang, buku harus terjangkau. Buku adalah modal, agar masyarakat bebas dari belenggu ketidaktahuan,” ujar Johan lagi.
Pendekatan ini, lanjutnya, diharapkan bisa membangun persepsi baru di kalangan masyarakat. Bahwa toko buku bukan sesuatu hal yang kaku. Membeli buku, bukan jadi hal yang ‘tidak trendy’, tapi sebaliknya. Dan perlahan tapi pasti, image toko buku sebagai sarang kutu buku pun berubah. Toko buku, tumbuh jadi public area baru yang mengasyikkan, dan terbuka untuk siapa saja.
“Kalau toko buku bertahan dalam bentuk yang kaku, anak-anak muda sekarang akan melihat ini bahwa toko buku itu bukan dunia mereka. Akibatnya, mereka enggan ke toko buku. Dan kalau sudah enggan, bukan hanya toko buku yang rugi. Tapi negara,” tegas Johan.
Upaya membangun konsep baru di toko buku, ternyata juga bisa ditemui di jaringan toko buku Gramedia. Salah satunya, toko buku anyar di Gramedia Expo, Jl Basuki Rahmad. Di sini, pengunjung diajak untuk menikmati pengalaman berbelanja yang lebih elegan dan menyenangkan.
Roy, 45 tahun, warga Kediri, Jawa Timur, mengaku beberapa kali datang ke toko buku ini. Awalnya, bapak dua anak yang kini berstatus sebagai pegawai negeri ini iseng mampir, gara-gara jadi panitia sebuah eksebisi tingkat propinsi.
“Lama-lama suka. Karena suasananya yang bersih, tertata dengan bagus dan mudah. Habis belanja buku, kita bisa mampir di Library Cafe, minum kopi, sambil ngemil. Cafenya bagus,” papar Roy.
Walau diakui, harga yang ia dapat di sini relatif lebih mahal ketimbang, misalnya, di Togamas. “Tapi ya nggak apa-apa lah. Jadi pas pingin belanja buku banyak, kami ke Togamas. Tapi kalau sedikit ya ke Gramedia,” aku Roy.
Pada EastJava Traveler, ia menambahkan, kebiasaan ini akan terus ia kembangkan di keluarga. “Sehingga konsep jalan-jalan atau rekreasi keluarga, bisa berbelok dari kesan hura-hura ke arah yang lebih mendidik,” katanya.
naskah : hendro d.laksono | foto: wt atmojo