Semangat pluralisme KH Aburrahman Wahid atau Gus Dur masih melekat erat di bumi pertiwi. Terbukti Haul Gus Dur tahun ini juga diperingati di Klenteng Hong San Kiong, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (7/12) sore ini.
“Saya sebenarnya lebih senang Gus Dur disebut sebagai Bapak Humanisme daripada Bapak Pluralisme,” ucap Inayah Wahid, anak bungsu Gus Dur yang hadir dalam acara tersebut. Ia berpendapat, Gus Dur sebenarnya tidak membela perbedaan atau kaum minoritas, tapi Gus Dur membela manusia sebagai ciptaan Tuhan. Siapapun, menurut Inayah, tidak mengenal agama, ras, suku, dan warna kulit akan dibelanya jika ia tertindas oleh kelompok tertentu.
Haul yang digelar di klenteng itu dihadiri berbagai kalangan masyarakat. Namun, justru sepintas lalu yang paling terlihat hadir adalah kebanyakan kalangan santri dari beberapa pondok dan perguruan tinggi. Selain ditampilkan berbagai seni dan pertunjukan, dalam acara itu juga digelar sarasehan yang bertajuk Quo Vadis Pluralisme Pasca Gus Dur yang dipandu tokoh muda Tionghoa, Ardian Purwoseputro. Pembicara yang ditampilkan dalam acara ini berasal lintas etnik dan agama.
Selain menghadirkan Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Solahudin Wahid (Gus Solah), juga hadir Konsul Jendral Amerika Serikat di Surabaya Joaquin F Monserrate, yang berbagi cerita tentang upaya penyatuan perbedaan di Amerika Serikat. Juga ada seniman Putu Sutawijaya, yang melihat pluralisme dari sudut pandang budaya. Ia misalnya mengatakan bahwa perbedaan bisa dipecahkan dengan kesenian. Dengan seni katanya perbedaan itu akan terasa tidak ada.
Toni Harsono atau Tok Hok Lay, Ketua Klenteng Hong San Kiong Gudo, dalam sambutannya mengatakan bahwa Gus Dur seperti Mahatma Gandhi, yang berjiwa besar dan memuliakan kemanusiaan agar jauh dari sekat SARA. Ia juga mengatakan bahwa Gus Dur sejajar dengan tokoh dunia dan belum ada tokoh nasional yang sekaliber dia.
Toni mengatakan bahwa tidak saja kaum Islam, khusus Nu, yang merindukan Gus Dur, kaum Tionghoa juga merindukan sosok dia. Namun rindu itu bukan sekedar nostalgia semu tanpa arti. Kegiatan haul itu diarahkan untuk menguatkan dan menumbuh kembangkan pemikiran pluralisme yang telah dilakukan Gus Dur selama hidupnya.
Toni berharap sarasehan itu adalah langkah awal menciptakan persatuan yang telah lama hilang setelah digagas Bapak Pluralisme Gus Dur. Setelah kegiatan ini diharapkan Klenteng Hong San Kiong Gudo jadi pusat kunjungan semua ragam etnis, budaya maupun agama. Klenteng Hong San Kiong siap jadi mitra untuk membangun pluralisme dan peradaban dunia bermula dari tempat sederhana dan desa sekalipun. Ia pun berharap kegiatan ini tidak berhenti di Jombang, namunjuga jika bias di tempat-tempat lain.