Merefleksikan perjalanan sebuah bangsa tentunya tak harus lewat buku atau film. Seperti yang disajikan oleh kolaborasi pemuda Indonesia dan Singapura dalam teater monolog berjudul “Kongkalikong” di Klenteng Eng An Kiong, Malang, Sabtu (22/9) malam.
Monolog yang berdurasi sekitar satu jam ini menceritakan sejarah fiksi perjalanan tiga generasi keluarga Tionghoa di Jawa. Suguhan teaterikal terasa serasi didukung oleh latar pemandangan Klenteng khas Tionghoa. Musik khas Tionghoa dilantunkan mengawali sajian teater. Alunan kecapi terasa merdu menyentuh kalbu, terlebih lagi ketika Suhaili Safari membawakan monolog berbahasa Indonesia ini dengan logat Tionghoa.
Pemain Monolog asal Singapura itu memerankan tiga karakter wanita dalam tiga generasi yang mengalami gejolak dan suka duka politik pada jamannya. Dimulai dengan karakter Ibu A Mei, wanita Tionghoa pada tahun 1927, dilanjutkan dengan kisah perjalanan A Mei yang pergi ke tanah Jawa dan menikah dengan Lelaki Islam, dan berpindah ke Singapura diceritakan tentang Siti, wanita generasi ketiga.
Dikawinkan dengan musik merdu pemuda Malang, Suhaili berakting sepenuh hati memberikan kesan sedih, haru, dan bahkan humor. Teater yang dikemas rapi khas Tionghoa ini meng-ilustrasikan tentang asimilasi budaya Tionghoa ke dalam budaya Melayu. Konflik yang dihadapi oleh ketiga wanita tersebut merupakan refleksi sejarah perjalanan bangsa Tionghoa di Indonesia yang dihiasi persoalan sosial, politik, dan budaya. Selanjutnya untuk menceritakan lebih luas tentang perjalanan keluarga Tionghoa, teater ini akan dipentaskan kembali di Singapura di awal 2013.
naskah dan foto: arif furqon