Mungkin sebagian dari kita terpaku akan keindahan penampilan pertunjukkan Reyog. Sempatkah terpikir apa arti di balik itu semua?
Alunan nada-nada pelog dari kempul, ketipung, gong, kenong, angklung dan selompret (terompet tradisional) bertalu-talu. Irama tersebut terdengar mengiringi goyangan tarian Reyog (ejaan yang kini digunakan, red) khas Ponorogo.
Diawali tampilan penari jathilan dengan kuda tunggangannya. Warok tua dan warok muda pun masuk mengiringi para penari jathilan. Warok muda mengenakan baju dan celana serba hitam berkolor besar, ikat pinggang besar, keris dan ikat kepala hitam (gadung mondholan). Dagunya dipasangi jambang lebat, sedangkan dadanya digambari rambut. Warok tua tampil lebih kalem tanpa banyak riasan serta ikat kepala berwarna cokelat (modang).
Kemudian, disusul dengan masuknya Patih Bujang Ganong dan binatang Reyog Singo Barong dan Dhadhak Merak, yang dilanjut dengan masuknya Raja Kelana Sewandhana. Pertunjukkan terasa seru dan nuansa mistik mengiringi, serasa tak menggoyahkan nikmatnya penonton menyaksikan pertunjukkan tari Reyog.
Dalam lakon Reyog tersebut, menceritakan kisah cinta yang tidak kesampaian. Konon, penguasa kerajaan Bantarangin Prabu Kelana Swandana mengutus para pasukannya pimpinan Patih Bujang Ganong untuk melamar putri Kerajaan Jenggala di Kediri, Sanga Langit.
Di tengah perjalanan rombongan disergap singa berbadan besar (Singa Barong). Kalah bertarung Bujang Ganong kembali. Prabu Klana Swandana akhirnya turun dan berhasil menaklukkan Singa Barong yang berubah menjadi Dadak Merak.
Sang putri mau disunting asalkan Prabu Kelana berkenan menciptakan seni pertunjukkan baru dengan melibatkan pasukan berkuda (Jathilan), meskipun pernikahan tidak jadi. Pasukan Prabu Klana membuat tarian arak-arakan perang diiringi tingkah sorak-sorai dan inilah yang dinamakan tari Reyog khas Ponorogo.
Sebelumnya, sebagian orang tak begitu paham jika dibalik nuansa mistik tampilan tari Reyog telah mengusung cerita asmara. “Selama ini pikiran saya dari tampilan Reyog itu menceritakan kisah misteri. Namun, ternyata Reyog itu mengkiaskan drama percintaan,” celetuk Nani Suwarni, 31 tahun, salah seorang penonton pertunjukkan Reyog.
Menjerat Tradisi
Sebagian orang banyak yang awam dengan nilai-nilai keaslian Reyog. Oleh karenanya, tidak mudah dalam membuat dan menjaga, terlebih dalam mengembangkan tradisi kesenian khas Ponorogo itu.
Begitulah ungkapan Harjokemun Al-Molog sang empunya Reyog melihat kondisi kesenian Reyog saat ini. Menurutnya untuk menjaga kelestarian tradisi kesenian ini sangat patut dibutuhkan pemahaman tersendiri.
Khususnya pada pemahaman nilai-nilai jawa bagi para pengrajin maupun pecinta Reyog. “Apalagi dalam membuatnya ada hitungan mistiknya dan saya percaya akan itu semua,” kata pria yang akrab disapa Molog itu.
Melihat berbagai jerih payah bapak 4 anak ini dalam menekuni Reyog sejak usia 7 tahun. Baik dari segi penjagaan maupun pelestarian budayanya. Sangat pantas jika dirinya mendapat piagam penghargaan Festival of American Folklife 1991 dari negeri Paman Sam, yang diberikan oleh The Smithsonian Institution.
“Kala itu saya sendiri yang datang ke Washington memenuhi undangan mereka,” aku Molog, sembari menunjukkan piagam tersebut yang terpasang di dinding rumahnya.
Tidak hanya bukti lain adalah terpampangnya dua buah piagam penghargaan di dinding rumahnya di Jl. Tlutur 76 A Ponorogo. Piagam tersebut adalah dari mantan Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Widarso Gondodiwirjo pada 18 Agustus 1978. Sebagai pembinaan seni tradisional daerah kabupaten Ponorogo, dan pelatih penari Reyog. Kedua penghargaan dari mantan Gubernur Jatim Soelarso pada 31 Maret 1993, sebagai seniman seni rupa tradisional.
Tak berhenti di situ saja prestasi Molog. Ia juga pernah menjadi seorang juri dalam festival Reyog Nasional. “Mengenai kepastian tahunnya saya lupa, yang jelas saat itu di masa Bupati Markoem Singodimedjo,” kenangnya.
Mengenai pekerjaannya sebagai pengrajin Reyog. Molog mengatakan sudah tak terhitung banyaknya berapa hasil besutannya. “Setahun sedikitnya empat paket lengkap Reyog dipesan orang,” ujarnya.
Untuk satu paketnya, terdiri dari Reyog, Kuda Kepang, Topeng Bujang Ganong, Probo, Cemeti Samandiman, Angklung, Gong, Kenong, serta Selompret. Lantas, dengan harga berapa dirinya memasang tarif untuk sebuah karya. “Satu paket standar dijual seharga Rp 27 juta, sedangkan yang istimewa Rp 45 juta,” ungkapnya. Berapa pun harga dari sebuah mahakarya bukanlah sebuah persoalan. Terpenting adalah letak dari sebuah estetika karya.
Naskah dan Foto : M. Ridlo’i