Bebatuan andesit itu bertumpuk hingga berdiri menjulang. Selintas suasana di sekitarnya sepi tak berarti. Siapa sangka, jika di dalamnya tersimpan sebagian abu raja terakhir dari Kerajaan Singosari. Raja Kertanegara yang berjaya di masanya.
Dan di sinilah, pernah menjadi pusat domisilinya pengikut raja yang beraliran Tertrayana, perpaduan Hindu Budha. Tak salah, bila bangunan candi yang berada di Prigen, Pandaan, Kabupaten Pasuruan ini bercorak perpaduan dua budaya, Hindu Budha, yang dikenal dengan sebutan Candi Jawi.
Candi Jawi dibangun sekitar abad 13 pada jaman Kerajaan Singosari. Pada tahun 1331, yakni sekitar jaman Kerajaan Majapahit, Candi Jawi runtuh separuh karena tersambar petir. Kemudian akhirnya dilakukan penataan ulang berdasarkan bentuk aslinya, di mana bentuk aslinya terukir di relief sebelah utara. Pemugaran candi pun didasarkan atas relief tersebut. Relief itu melukiskan keadaan bangunan candi. Terdapat kolam yang mengelilingi candi beserta hiasan bunga-bunga teratai yang besar-besar, letak candi yang di atas teras, candi perwara (pendamping) di depan candi yang sekarang bentuk asli Candi Jawi yang menjulang tinggi, serta candi bentar (pintu gerbang)
Candi Jawi pembangunannya menggunakan batu andesit, seperti kebanyakan peninggalan Kerajaan Singosari, tapi pada beberapa bagian seperti parit, pagar tembok keliling serta pada Candi Bentar menggunakan batu bata. Diperkirakan menurut Aan, juru kunci Candi Jawi karena di tempat tersebut merupakan perbatasan Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit, sehingga menggunakan bahan pembuatan candi yang berbeda.
Pemugaran pun sempat dilakukan pemerintah tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Karena sebab keruntuhan saat penemuan, pemugaran beberapa bagian candi harus ditambahkan dengan batu andesit baru untuk menambal bagian candi yang rusak. Tanda untuk membedakan batu andesit lama candi dengan batu andesit baru, adalah seperti paku baja yang ditancapkan di tengah-tengah batu tersebut yang menandakan itu batu baru yang ditambahkan setelahnya.
Yoni dan Lingga
Ukiran relief pada Candi Jawi masih belum ada ahli arkeologi dan purbakala yang bisa membaca dan menerjemahkan makna dibaliknya, hanya cara membacanya saja yang sudah diketahui yakni searah jarum jam. Selain ukiran relief juga terdapat ukiran burung merak di bagian sudut bawah samping candi dan ukiran Mahakala di atas pintu masuk. Mahakala dalam ajaran Hindu bertugas menjaga pintu gerbang Surga Dewa Siwa.
Saat sudah masuk bilik candi, kita akan mendapati altar kecil yang disebut Yoni. Menurut Aan, sebenarnya di tengah-tengah batu yoni tersebut terdapat batu lingga, tapi hilang saat penemuan candi. Perpaduan yoni dan lingga adalah simbol untuk kesuburan laki-laki dan perempuan. Perpaduan tersebut juga bisa diartikan sebagai arca Dewa Siwa.
Saat upacara keagamaaan, Dewa Siwa disiram air di mana air tersebut mengalir ke celah saluran air kemudian turun ke bawah untuk ditampung. Air yang telah melalui proses tersebut dinamakan Air Suci Amerta. Air Amerta itulah yang kemudian dalam ritual sering dicipratkan ke para peserta ritual.
Lalu tengokkan kepala ke atas, maka akan didapati ukiran Dewa Batara Surga yang sedang mengendarai kuda dan diatasnya lagi terdapat Dewa Matahari Batara Surya, maka dari itu Candi Jawi arahnya menghadap terbit matahari.
Sementara pada bagian belakang pos jaga, terdapat ruangan kecil yang digunakan untuk menempatkan bebatuan candi yang tak dapat disusun lagi. Menurut Aan, sebenarnya banyak reruntuhan candi yang masih hilang. Selain karena proses jaman juga banyak yang diangkut ke Belanda saat jaman penjajahan.
Banyak peninggalan Candi Jawi yang telah diangkut ke luar negeri seperti Belanda dan pemerintah Indonesia sendiri sudah meminta untuk dikembalikan. “Tapi mereka tidak mau, dengan alasan dulu dimana saat masih bisa merawat sendiri. Sebenarnya ini juga kesalahan kita yang kurang menghargai kebudayaan kita sendiri,” pungkas Aan.
nama|foto : muchson darul fatoni