Beberapa waktu lalu, EastJava Traveler mendapat email dari pembaca yang ingin share pengalaman istimewanya, saat jalan-jalan di sentra pembuatan gerabah dan sumur minyak Kawengan, Bojonegoro. Mereka, siswa-siswi SMA Negeri 2 Bojonegoro, kemudian memaparkan pengalaman itu di eastjavatraveler.com dengan gaya mereka, khusus untuk Anda.
Sabtu, 26 April 2008 pukul 07.00. Langit terlihat cerah hanya terlihat beberapa noda awan menutupi kota Ledre. Kesibukan kota Bojonegoro pun mulai telihat, jalan-jalan yang dipenuhi dengan kendaraan roda dua, roda empat dan truk-truk besar yang beroda enam atau lebih, burung-burung kecil yang berterbangan mencari makan untuk anak mereka yang terus saja berkicau kelaparan. Matahari sudah berpendar cukup ganas ketika kami bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Hari itu sebenarnya adalah hari santai untuk siswa-siswi SMAdaBO (SMA Negeri 2 Bojonegoro, red) kelas X dan XI, karena ada ujian akhir sekolah yang dijalani oleh siswa kelas XII.
Bagi sebagian anak sekolah hari itu adalah hari libur yang panjang tapi hal ini tidak berlaku untuk anak kelas XII, karena mereka harus memeras tenaga dan otak untuk mengerjakan soal-soal UNAS. Berbeda dengan ZZ (Zig-Zag, majalah internal SMA Negeri 2 Bojonegoro, red), hari itu ZZ melakukan kunjungan wisata di daerah Malo. Kawasan yang membuat hari Sabtu kala itu menjadi berkesan. Sebelum berangngkat ZZ sudah membayangkan Desa Rendeng, sebuah desa yang memiliki potensi pariwisata kerajinan gerabah, Gua Kikik dengan air terjunnya, dan kawasan Pengeboran Sumur Minyak Tua di Desa Kawengan dengan keindahan gunung kapur yang menghampar kearah timur membatasi kabupaten Bojonegoro dengan Tuban.
Setelah sekitar 30 menit memberikan pengarahan dan mengajak para wartawan ZZ berdiskusi tentang kegiatan yang nantinya akan dilakukan. Segera saja ZZ menancapkan gas sepeda motor menyusri jalan HOS Cokroaminoto yang terbilang teduh. Di Bundaran Jetak, ZZ belok kiri melewati Jalan Raya Bojonegoro-Cepu dan merasakan jalanan yang bergelombang.
Setelah setengah jam berada diatas speda motor, akhirnya ZZ tiba di jembatan Malo. Rasa penat dan lelah bergelayut dipunggung. saya harus melewati jalanan yang
Segera saja desiran angin yang berbisik dari sela-sela tiang jembatan dan melihat aliran Bengawan Solo yang melintasi kokohnya jembatan ini, rasanya kelelahan ZZ ikut terbawa pergi bersama hembusan angin dan arus sungai. Sengat matahari yang cukup panas justru menambah keceriaan ZZ. Berkali-kali ZZ berpose dan mengabadikan moment, meskipun rasa lelah belum tuntas hilang dari tubuh, ZZ harus segera menuju ke tempat tujuan, Desa Rendeng.
Beberapa menit kemudian, tibalah di sebuah perkampungan di wilayah Desa Rendeng tepatnya Dukuh Karuk. Di setiap sisi jalan sempit yang dilalui, selalu ada gerabah dengan berbagai bentuk, warna dan ukuran. ZZ memilih sebuah rumah yang memiliki banyak gerabah. Kelihatannya pemilik rumah adalah salah satu pengepul (agen, red). Rumah yang cukup besar, berdinding kayu, lantainya terbuat dari lapisan semen, dengan pelataran rumah yang luas berisi beberapa celengan berbentuk macan, sapi berukuran besar yang masih setengah jadi. Sementara di bagian luar pagar tembok yang melindungi bagian depan rumah ini, diletakkan puluhan celengan yang sudah siap dijual.
ZZ masuk rumah itu bertemu Bapak Sapraun, sang tuan rumah skaligus pemilik bisnis ini. ZZ dipersilahkan masuk dan melihat proses pembuatan gerabah.
Selain tanah liat bahan yang digunakan untuk membuat gerabah adalah bubuk siwi sebagai campuran warna putih. Selain itu juga menggunakan getah Damar yang sudah berbentuk gumpalan-gumpalan kristal yang nantinya akan dicairkan dengan cara dimasak bersama minyak tanah dan dicampur dengan cat, untuk memberikan efek berkilau pada gerabah.
Di dalam rumah terdapat 3 orang pekerja yang tugasnya memberi motif celengen dengan warna-warna tertentu. Diabagib belakang rumah itu terdapat sebuah tempat yang dipakai untuk proses pembakaran gerabah.
ZZ sempat berbincang dengan Bapak Sapraun mengenai bisnis yang tampak begitu sangat berhasil. Pria berperawakan tinggi kurus ini kelihatan sangan welcome dengan kami, hanya saja beliau kelihatan agak kikuk saat menjawab beberapa pertanyaan dari ZZ. “Aku ora isa ngomong, to, Mbak, takok kae bae lho, sing klambi abang… (Saya tidak bisa bicara, to, Mbak, tanya dia saja lho, yang berbaju merah),” tutur Sapraun malu-malu sambil menunjuk seorang karyawan yang sedang sibuk mengecat celengan berbentuk Macan.
“Bisnis ini sudah turun temurun, Mbak, dari nenek moyang, saya menjalankan bisnis ini sudah sekitar 15 tahun,” tutur ayah dari 2 orang anak ini mengawali cerita kesuksesannya.
Celengan tersebut dikerjakan mingguan, sebab harus menunggu kering, selain itu harus menunggu proses lainnya. Mencetak kaki, badan dan kepala celengan. Salain harus menunggu proses yang lain, proses pembuatannya juga dipengaruhi oleh faktor cuaca. Dalam satu minggu, jika cuacanya baik, para pengrajin dapat menghasilkan kurang lebih 100 buah celengan.
Celengan yang paling kecil dijual Rp 5.000,00, setingkat lebih besar berharga Rp 15.000,00, yang lebih besar lagi Rp 20.000,00 dan yang paling besar mencapai Rp 30.000,00.
Ditempat ini, Zigger bisa membeli oleh-oleh, seperti yang dilakukan Aulia membelikan sebuah celengan untuk sahabat karibnya.
Gerabah Desa Rendeng memiliki pemasaran yang dibeberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah
Bapak Sapraun juga bercerita tentang banjir bandang yang melanda Bojonegoro akhir tahun 2007 lalu. Seluruh Rumah warga termasuk Bapak Sapraun hampir tenggelam karena ketinggian air mencapai 2 meter. “Kerugiannya jutaan Mbak, yang belum melalui proses pembakaran saja ada sekitar 2 truk, belum lagi kayu bakar yang hanyut. Sudah tidak bisa dihitung,” kenang Bapak Sapraun.
Untuk membuat Gerabah, Warga Rendeng harus mengambil bahan baku berupa tanah liat di hutan Ketileng yang berjarak sekitar 4 kilometer, disebelah utara Desa Rendeng. Setiap pagi mereka harus mengambilnya dengan mengendarai sepeda pancal yang memakan waktu hingga setengah hari perjalanan. Setelah itu tanah liat dibentuk menjadi pilinan-pilinan kemuadian dipotong-potong dan mulai dibentuk. Proses selanjutnya dijemur kemudian dibakar.
Untuk proses pembakaran, gerabah harus disusun dengan rapi di dalam tungku supaya tidak pecah, di atasnya diletakkan jerami. Bahan bakarnya menggunkan kayu jati yang sudah dipotong-potong kasar. Proses ini memakan waktu 2-3 jam sampai jerami terbakar habis menjadi abu.
Usai dibakar, celengan siap di-finishing. Proses ini dikerjakan 3 orang pria dengan tangan yang terampil. Untuk memberikan detil pada 1 celengan yang sudah diblok cat dasar.
Meraka sangat kreatif. Selain melukis tanpa pola, mereka juga membuat kuas sendiri, bahkan cat yang digunakan pun adalah cat bekas pewarna kardus. Dengan tangan mereka yang sangat terampil, cat bekas itu dapat diaplikasikan dengan sangat apik pada celengan. Saya juga sempat mencoba menulis pada salah satu sisi celengan miniature Semar –salah satu tokoh pewayangan-, memang sulit jika tidak terbiasa, namun hasilnya tidak begitu buruk. Celoteh Iber, Redaktur Pelaksana ZZ dengan semangat.
Usai di rumah Pak Sapraun, ZZ menyempatkan mampir ke Rumah Bapak Muhajir, Kepala Desa Rendeng. Rumahnya sederhana, modelnya sama dengan rumah warga pada umumnya, hanya saja ornamennya sedikit berbeda
ZZ banyak berbincang pada bapak Kepala Desa, termasuk mengusulkan untuk di buat showroom, dan menjadikan Desa Rendeng menjadi Desa Wisata di Kabupaten Bojonegoro. Rendeng memiliki potensi wisata yang luar bisa. Kondisi alam, dan letak geografis yang sangat menguntungkan. Terlebih lagi, adanya jembatan Malo yang menjadi penghubung dengan kecamatan Kalitidu dan kecamatan lainnya.
Jembatan tersebut menjadi salah satu icon wisata di kawasan Malo. Sore hari, sambil mencing di Bengawan Solo menjadi salah satu rekreasi alternative. Bagi siapa saja yang baru menginjakkan kakinya di kawasa ini, pasti meresakan hal yang berbeda.
Rasa lelah mulai menggelayuti tubuh kami. Panasnya matahari hanya sanggup menembus topi kami, tidak untuk semangat kami. Memang siang itu lumayan panas, tetapi desiran angin dari aliran Bengawan Solo mampu menjadi penyegar suasana siang itu. Walau keringat mengucur, semangat kami tetap riang.
Di Rendeng, kami membeli enam buah celengan sebagai oleh-oleh dari kunjungan wisata ini. Khusus untuk 2 buah ZZ pilihkan special untuk Bapak Kepala Sekolah dan guru pembiana ZZ. Celengan berbentuk semar, ZZ pikir benda tersebut pantas untuk dipajang di ruang Kepala Sekolah.
Selesai ubek-ubek Desa Rendeng, giliran ZZ menikmati suasana hutan Malo. Konon, dibalik bukit ada air terjun dan gua yang merupakan peninggalan jaman prasejarah. Roda-roda sepeda motor ZZ langsung menggilas tanah-tanah yang tak berasapal di kawasan hutan tersebut, untung saja tidak becek. Di kanan dan kiri penuh dengan tumbuhan semak belukar dan lebar jalan hanya cukup untuk satu jalur saja.
Keinginan membasahi muka tangan dan kaki dengan segarnya air tak tertahankan lagi. Segera saja ZZ berjalan menuju kucuran air dari atas tebing, suasana nyaman dan tenang bisa menjadikan kawasan ini alternative untuk melepaskan kepenatan.
Diatas terdapat sebuah gua. Penduduk setempat menyebutnya Gua Kikik. Berdasarkan buku sejarah Bojonegoro, di dalam gua tersebut terdapat makam orang kalang. Orang kalang adalah manusia yang hidup dijaman purba.
Puas menikmati air terjun dan suasan Gua Kiki, ZZ bergegas menuju Kawengan. Kawasan yang terdapat sumur minyak tua peninggalan Belanda. Untuk menuju kesana Ziggers akan menemui jalan yang menanjak, berkelok-kelok dengan suasana hutan yang kental. Semilir angin yang menerpa pehon kelepa yang berada di samping kanan dan kiri jalan. ”He kayak di pujon malang yaa…? tau gini aku pasti sering kesini,” Celoteh Hendro dengan lugunya.
Lokasi sumur-sumur tersebut berada di perbukitan pegunungan kapur utara. Tanpa sadar ZZ sudah berada di atas dataran perbukitan gunung kapur yang lumayan tinggi, hingga ZZ bisa melihat pemukiman penduduk di wilayah Malo. Sawah yang menghampar hijau, pantulan sinar crystal dari bengawan solo yang membujur di sebelah selatan membuat ZZ takjub.
Dilokasi ini, ZZ hanya bisa melihat dari jarak tertentu, kerena ada larangan dan berbahaya. Sedikit saja ada percikan api, semua akan terbakar. Sumur-sumur minyak tua itu terlihat begitu lelah memompa isi perut bumi selama bertahun-tahun. Minyak-minyak tersebut dialirkan menuju Kota Cepu melalui pipa-pia tua yang sudah di tanam disana.
Tak terasa matahari sudah mulai bergeser kearah barat, menandakan ZZ harus segera meninggalkan kawasan tersebut supaya tidak kemalaman dijalan. Sepakat, ZZ segera meninggalkan sumur-sumur minyak tua yang terus saja bergerak memompa dengan perkasa penuh kesabaran. Entah sampai kapan mereka akan berhenti menguras isi perut bumi ini. Sampai kapan…? Hanya tuhan yang tau akan kebesaran dan rahasia di alam semesta ini.
Kawasan Malo memang menawarkan pesona keindahan ditambah lagi dengan kandungan kekayaan alam di bawahnya yang sangat luar biasa. Belum lagi potensi Desa Rendeng sebagai desa wisata yang memiliki hasil kerajinan gerabah.
Ziggers, sebagai generasi muda yang akan mewarisi seluruh isi bumi dan potesinya harus siap untuk menjadi tuan rumah dikota sendiri. Semua pihak harus mempromosikan apa yang ada di kawasan ini, kedepan Malo bisa menjadi kawasan wisata alternative dengan segala potensi yang masih perlu di gali dan dikembangkan.
naskah dan foto : tyo-iber/mp | zigzag, sman 2 bojonegoro
5 Comments
wah bagus tenan yo daerahku
thanks ea
Wah pangling ya liat desa malo sekarang…ini lah desa dimana aku pernah tinggal hampir 12 tahun.skrang aku tinggal di garut jabar…benar-benar pangling euy…
Trimks buat redaksi
salam buat teman2ku di dukuh sugih malo,karok rendang dan semuanya…hatur nuhun….
Malo is the best….
mgkn mslah jalan raya yg hrus d lebarkan dan d prbaiki demi kenyamanan wisata,dinas pariwisata juga d hrapkan lbh membuka mata lagi terhadap pngmbngan wsta di kcmatan2 pelosok yg tak kalah menarik.txz
Jiro (jiro hman)ds.lebak,malo