Bernostalgia dengan masa lampau menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat khususnya Kota Malang. Hal tersebut terbukti dalam Festival Malang Kembali atau yang biasa juga disebut Malang Tempo Doeloe. Acara yang kini rutin digelar tiap tahun oleh Pemkot Malang ini telah memasuki tahun ke-7 dan kini semakin dikenal luas di pelosok daerah Jawa Timur khususnya.
Malang Tempo Dulu tiap tahunnya diadakan di sepanjang jalan Ijen Kota Malang. Pada tahun ini, festival yang mengajak pengunjung bernostalgia dengan masa lalu ini berlangsung pada 24 hingga 27 Mei 2012 kemarin. Beragam acara mulai dari pertunjukan kesenian Budaya khas Malang, jajanan tempo dulu, dan stand – stand unik mengubah jalan Ijen sepanjang 2 KM ini menjadi nuansa pasar rakyat jaman dahulu.
Semenjak dibuka pada pagi hari, festival ini menyedot ribuan pengunjung, baik dari dalam maupun luar Kota Malang. Berpelesir ke Malang Tempo Dulu (MTD) tak terasa nuansanya bila tak memakai busana jaman dulu juga, seperti yang diungkapkan Rumi, salah satu pengunjung MTD dari Kota Batu. “Kalau kesini lebih serasi pakai busana tempo dulu, mau pakai kemeja petani jadul atau aksesoris wanita jaman Kolonial Belanda jadi tambah enak dilihat sama pengunjung lain,” ungkap gadis yang masih duduk di bangku SMA ini.
Ada lagi yang menarik dari MTD, selain pagelaran seni pertunjukan, banyak kumpulan penjual gulali yang mangkal di depan stand – stand mewah yang ada di sepanjang jalan Ijen. Gulali yang dijual di area MTD adalah gulali murni yang dimasak dengan menggunakan wajan besar. Bukan dari gula pasir, tapi dibuat dari bahan dasar gula pasir. Yakni tebu. Itu khas gulali Malang, yang terbuat dari tebu.
Di sekitar kawasan Kabupaten Malang yang mayoritas masyarakatnya bertani tebu, produksi gulali modern menggunakan mesin sudah ada tahun 1904 yang pada waktu itu disebut dengan Benang Peri. Namun, gulali yang dijual di MTD, masih tradisional. Gulali masih di dalam wajan. Setiap pembeli diambilkan langsung oleh si penjual di kendi berukuran besar dengan menggunakan bambu yang sudah dipotong-potong, layaknya tusuk sate. Kalau tak ada Festival MTD, gulali yang diproduksi secara tradisional sudah jarang ditemukan di Malang.
naskah/foto : frannoto