Berlibur di Surabaya, belum sah jika tak menengok bangunan-bangunan bersejarah. Selain dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya banyak menawarkan pemandangan jadul alias jaman dulu. Ini karena Surabaya pernah menjadi salahsatu kota pusat kekuasaan penjajahan.
Salahsatu bangunan diantara peninggalan kolonial yang ada itu, adalah Grha Wismilak. Yang berdiri kokoh di pojok jalan Raya Darmo 36 (dulu Darmo Boleuvaard), dan Jalan Dr. Soetomo 27 (dulu Coen Boulevaard) Surabaya. Gedung bercat putih ini, dibangun sekitar tahun 1920.
“Gedung dibangun perkiraan tahun 1920an, ini bisa dibuktikan dengan adanya kartu pos terbitan Jong Soe Hien dengan foto gedung, itu bisa dilihat ada bendera dikibarkan setengah tiang,” ujar Anton Teguh, General Training and Development Manager.
Nama Coen Boulevaard berarti Jalan Coen, nama Coen sendiri diambil dari Jan Pieterszoon Coen Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama, ia memerintah antara tahun 1619 – 1623, masa jabatan yang kedua berlangsung antara tahun 1627 – 1629.
Mungkin, warga Surabaya mengenal Grha Wismilak sebagai bekas kantor polisi. Anggapan tersebut tidak salah. Pasalnya gedung tersebut memang memiliki nilai sejarah tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia Bahkan, proklamasi dan eksistensi ‘Polisi Istimewa’ (yang kini menjadi nama jalan di seberang Grha Wismilak) dilakukan sebelum terbentuknya Polri.
Berdasarkan hasil pencarian Grha Wismilak, ditemukan jauh sebelum gedung tua bergaya arsitektur antik ini difungsikan sebagai kantor Wismilak, adalah sebuah toko yang menjual kebutuhan kaum elit Belanda (1920-1936). Kemudian disewa Toko Yan (1936-1924), menjadi asrama Polisi Istimewa bentukan Jepang (1942-1945). Dan terakhir menjadi Kantor Polisi Republik Indonesia (1945-1993). Bukti sejarah, membuat bangunan bergaya kolonial itu kini termasuk dalam cagar budaya yang dilindungi pemerintahan kota Surabaya.
Selain karena usianya yang sudah 100 tahunan, bangunan ini dikatakan antik karena gaya arsitekturnya belum diketahui hingga saat ini, karena tidak dijumpai gaya arsitek yang serupa di Surabaya. Pada jaman itu, gedung berlantai dua sangat langka, sehingga gedung ini bisa dibilang satu-satunya ‘rumah’ dua lantai dijamannya.
Lantai pertama gedung terbuat dari batu alam, sedangkan lantai kedua berlantai kayu. Total luas gedung asli adalah 999,89 meter persegi, yang terdiri dari lantai satu seluas 495 meter persegi. Sedangkan lantai dua 504,64 meter persegi.
Dilantai dua, terdapat empat ruangan yang luas. Saat ini keempat ruang tersebut difungsikan sebagai musholla, tempat terima tamu, dan ruang kantor.
Untuk menuju lantai dua, ada satu tangga yang terbuat dari kayu yang masih kokoh hingga kini. Begitu sampai di atas akan tampak jelas lantai kayu yang sampai saat ini masih terawat baik. Yang menarik dari lantai dua adalah adanya selasar, semacam teras, yang dapat dipakai untuk menyaksikan lalu lintas di jalan Darmo maupun jalan Dr. Soetomo.
Uniknya, semua material asli masih terpasang kokoh. Pintu, jendela, juga kaca patri antik dengan motif embun, yang berubah hanya material pada lantai satu yang diubah dengan marmer. Ini karena, pihak Wismilak belum menemukan, material apa yang sebelumnya digunakan.
Untuk itu, beberapa perawatan pun dilakukan. Agar material asli gedung tetap utuh. Seperti memoles lantai dua yang berbahan kayu, melapisi ventilasi udara dengan kaca.
“Disebelah kan dulu kantor Dubes U.S.A, dan sering sekali ada demo. Makanya ventilasi diberi tralis dan dilapisi kaca, untuk keamanan saja,” terang laki-laki berkecamata ini.
Seiring berkembangnya perusahaan Wismilak, tahun 2003 diputuskan untuk menambah bangunan baru, tanpa memugar gedung lama. Hasil rancangan Endramukti Design Associates itu pun sama persis, sehingga mendapat izin dari pemerintahan kota Surabaya, dan kemudian diresmikan pada 9 September 2009 silam.
Meskipun beralih fungsi sebagai kantor, Grha Wismilak kini banyak dimanfaatkan untuk even kebudayaan berskala besar. tak hanya itu, dengan terbuka Wismilak menerima kunjungan dari wisatawan lokal maupun asing, yang ingin melihat-lihat arsitektur gedung.
naskah : pipit maulidiya | foto : rangga yudhistira