Untuk menjaga seluruh isi desa selamat dari marabahaya, warga Kabupaten Blitar kembali menggelar sebuah ritual budaya Siraman Gong Kyai Pradah.Ritual ini sudah berlangsung lama, dan bisa dibilang sudah ratusana tahun silam.
Bahkan pernah ada cerita kalau siraman gong tidak digelar, warga dari tiga desa di Blitar terjangkit penyakit aneh. Belum lagi dampak yang menyerang pada hasil bumi di desa-desa yang ada di sana.
“Karena itu ritual budaya ini masih berlangsung hingga saat ini, dan harus tetap dijaga nilai-nilai luhurnya,” papar Hery Nugroho, Bupati Blitar dihadapan ribuan orang yang hadir pada acara ini.
Siraman Gong Kyai Pradah diadakan di Alun-alun ibu kota eks Kawedanan Lodoyo yang terletak di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Mulai beberapa hari pelaksanaan siraman warga mulai sibuk mempersiapkan, bahkan tak ketinggalan pedagang-pedagang yang tak mau melewatkan momen ini, untuk berjualan di sekitar tempat acara.
Begitu populernya siraman Gong Kyai Pradah, membuat ribuan orang nampak mulai berduyun-duyun sejak pagi hari. Mereka tak hanya datang dari Kota Blitar dan sekitar saja. Melainkan ada yang sengaja datang dari luar kota. Kehadiran mereka bukan sekedar berharap berkah air siraman gong, namun ada yang memanfaatkan acara ini sebagai wisata budaya.
Seperti yang dikatakan Ratnawati, pengunjung asal Nganjuk pada EastJava Traveler, mungkin karena prosesi upacaranya yang begitu sakral dan menarik, sehingga sudah dua kali ini saya datang melihat siraman gong. “Di samping itu sekalian untuk mengajak keluarga rekreasi melihat tontonan unik ini,” imbuhnya.
Pelaksanaan Siraman Gong Kyai Pradah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa wisatawan. Karena itu dalam sambutannya, Hery Nugroho, Bupati Blitar berharap jika acara ini selain sebagai wujud pelestarian budaya tradisional. Juga bisa menjadi daya tarik wisata budaya di Kabupaten Blitar selain Candi Penataran.
Pusaka Gong
Menurut cerita sesepuh Desa Lodoyo, yang akrab disebut warga setempat dengan Mbah Palil. Gong Kyai Pradah merupakan sebuah senjata milik seorang prabu bernama Kyai Bicak dari Kerajaan Mataram Surakarta (Kartosuro). Lantas, atas hukuman dari ayah Sang Prabu, bernama Sri Paku Buwono I, datanglah Pangeran Prabu ke Lodoyo.
Saat Pangeran Prabu datang, kondisi wilayah Lodoyo tak hanya berupa hutan lebat, tapi juga masih wingit (angker). Bahkan banyak dihuni binatang buas. Pangeran Prabu kemudian membawa pusaka kerajaan berupa sebuah gong dan empat bendhe, yang kemudian disebut sebagai Gong Kyai Pradah atau Gong Kyai Bicak. Dengan tujuh kali memukul gong itu, binatang buas di sana bisa jinak, dan keangkeran Lodoyo berhasil ditaklukkan. Warga pun bisa hidup tentram.
Selang beberapa tahun kemudian, menjelang Kyai Bicak tutup usia. Dia berpesan pada istri keduanya, agar kelak senjata pusaka gong ini dijadikan pelindung warga Lodoyo dari marabahaya. Dan, harus dijaga kebersihannya dari segala bentuk kotoran.
“Tolong pusaka ini selalu dimandikan setiap tanggal 12 Rabiul Awal,” begitu pesan Kyai Bicak pada sang istri kedua, seperti ditirukan Mbah Palil, 83 tahun.
Lalu menurut Mbah Palil lagi, mulai saat itulah istri kedua Kyai Bicak setiap tanggal 12 Rabiul Awal, membersihkan pusaka bersama pasukan-pasukan Lodoyo. Namun, kini waktu pelaksanaa terkadang diadakan saat sehari sebelum atau sesudah tanggal itu.
Cerita Mbah Palil ditambah apa yang dikatakan warga setempat, pernah suatu ketika pusaka ini tidak dibersihkan atau dimandikan. Akibatnya warga dari tiga dukuh di Lodoyo terjangkit wabah penyakit berbahaya. “Sampai seperti yang kita lakukan dan saksikan saat ini, tradisi ini tetap harus kita selenggarakan demi keselamatan seisi desa” ujar juru kunci makam Kyai Pradah itu.
Sakral
Untuk tetap menjalankan amanat, maka digelarlah prosesi siraman Gong Kyai Pradah. Menandai mulai berlangsung upacara sakral yang dilakukan sesepuh Desa Lodoyo bersama warga. Kirab pusaka dan penanaman kepala kambing.
Mentari Bumi Lodoyo masih belum sempurna menampakkan wujudnya. Warga mulai berdatangan dan berkumpul di depan tempat penyimpanan pusaka gong, dan makam Kyai Pradah. Mereka ada yang sengaja hadir untuk berziarah, atau memberi sesaji. Berdesak satu persatu orang berusaha menerobos masuk, mencari celah dari keamanan yang bertugas mengawal acara.
Tepat pukul 07.00 WIB, Mbah Palil dibantu beberapa panitia membawa keluar pusaka dan kepala kambing yang ditutupi kain putih. Mereka keluar dari sebuah ruangan penyimpanan pusaka, yang berukuran 3×4 meter persegi.
Diiringi penari jaranan, reyog, kebo-keboan, dan beberapa penabuh gong dan kempul. Mereka berjalan beriring membawa pusaka dan kepala kambing menuju Desa Dadapan, Kecamatan Lodoyo. Di sana kepala kambing ditanam di sebuah bangunan berukuran 2×2 meter persegi, lalu beberapa sesajian dari warga diletakan di dalam ruangan itu begitu saja.
Seperti yang dikatakan Moedjianto, Camat Sutojayan, kirab sesaji itu dihantar ke bangunan kecil di Desa Dadapan, karena pernah suatu ketika warga kita tidak memberikan sesaji pada leluhur. Tiba-tiba pusaka gong berpindah tempat, dari tempat penyimpanan di Alun-alun Lodoyo menuju Desa Dadapan.
“Titik perpindahannya tepat berada di bangunan sempit itu,” ucap Moedjianto, sembari menunjuk bangunan yang digunakan menanam kepala kambing.
Upacara sakral warga sebagai wujud ungkapan syukur pada Sang Kuasa, dan pada arwah leluhur punggawa desa belum usai. Waktu menunjukan pukul 09.00 WIB, saatnya menjalankan puncak prosesi, siraman pusaka gong. Namun, sebelumnya pusaka Kyai Pradah dikirab sekali lagi mengelilingi Alun-alun Lodoyo. Warga bersorak, berdesak, dan berebut agar dapat menjamah pusaka atau untuk melihat dari dekat.
Setelah itu, Pusaka Kyai Pradah dibawa naik ke panggung permanen atau dikenal dengan istilah Ndalem Pasiraman. Ndalem itu berupa bangunan tinggi (seperti panggung) yang berada tepat di tengah Alun-alun Lodoyo. Di ndalem Pasiraman ini Gong Kyai Pradah dicuci atau dimandikan. Momen inilah yang ditunggu ribuan warga yang hadir.
Masyarakat rela saling berdesakan hanya untuk memperebutkan air, bunga setaman atau apa saja benda bekas untuk mencuci pusaka itu, yang sengaja dijatuhkan dari atas tempat siraman.
Mereka mempercayai jika barang-barang maupun airnya mempunyai tuah. Konon, bisa digunakan untuk mengobati penyakit serta dapat membuat awet muda.
Salah satu warga yang mempercayai hal itu adalah Sukinah, warga Desa Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Wanita berusia 59 tahun ini mengaku, setiap kali ritual ini dilaksanakan, dirinya selalu hadir dan ikut berebut air maupun benda-benda lain bekas untuk mencuci Pusaka Kyai pradah.
Menurutnya, selain membuat awet muda, benda-benda lainnya bekas mencuci pusaka seperti bunga setaman, jika disimpan di rumah akan memberi berkah, yakni memperlancar rejeki serta membuat rasa tentram dalam kehiduan rumah tangga.
“Seperti dalam kisah warga sini, pusaka ini dulu kan memiliki banyak keampuhan dalam menjaga seisi desa dari bahaya,” tuturnya.
naskah : m. ridlo’i | foto : wt atmojo