Ratusan warga Tengger bergegas melangkahkan kaki. Lincah menggotong ongklek-ongklek cantik, sesajen yang dirangkai indah untuk kemudian dilempar begitu saja ke dalam kawah. Sementara di sekitar mereka, para wisatawan sibuk mencari sudut paling tepat, untuk mengabadikan momen ini dengan kamera.
Larung sajen dimulai menjelang ufuk. Sehingga pandangan mata sangat terbatas. Jarak pandang terasa pendek, sehingga perlu lebih berhati hati agar tidak celaka di ketinggian kawah 2392 dpl ini.
Sesampai di puncak, ritual penting yang terjaga hingga kini ini dimulai. Sesaji dilempar ke dalam tebing kawah, disambut sejumlah warga Tengger malah berada di dalam bibir kawah untuk berburu sesajen terbang. Dengan penuh semangat, mereka, baik pria, wanita, anak-anak, dan bahkan mereka yang sudah lanjut usia, berebut sesajen yang dilempar dari atas bibir kawah.
Dengan tangkas beringas tangan kanan membawa tongkat berujung jala untuk menangkap lemparan sesajen. Kaki kaki yang dibungkus sepatu boot dengan lincah melompat membantu gapai an tangan menjala ayam yang dilempar warga. Berbagai tangkapan hasil ‘menjala’ di kawah dikumpulkan bersama oleh satu kelompok, semacam ada organizer yang mungkin berasal dari bagian keluarga sendiri.
Ayam yang didapat tadi diikat kakinya supaya tak jauh jauh pergi,mungkin hendak disembelih nanti malam. Satu ekor ayam lihai lepas karena talinya tak kuat dan menimbulkan kepanikan ratusan orang di dalam kawah. Panik karena hasil tangkapannya lepas, atau panik untuk merebut ayam yang bagaikan layang-layang tak berbenang. Mungkin toleransi, dan mungkin juga rasa saling mengerti yang akhirnya melerai debat kecil asal usul ayam tak berbenang itu.
Konsentrasi pun kembali pada koin koin recehan dan beberapa lembaran uang yang melayang layang menghindari tangkapan jala seakan ini perayaan lomba tangkap kupu kupu kertas ber-nominal.
naskah dan foto : arif furqan