Pulau Mengare merupakan bagian dari Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Menuju ke lokasinya pun cukup mudah. Jalan paving selebar 2,8 meter dengan kiri dan kanannya lahan tambak di tambah semak belukar adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Sembayat (Bungah) dengan Pulau Mengare. Menuju ke sana dapat di tempuh lewat jalan tol Surabaya-Manyar. Setelah itu turun Manyar menuju Sembayat.
Sesampai di Sembayat sebelum melintas di jembatan layang yang melintang di atas sungai Bengawan Solo, dijumpai sebuah jalan kecil dan ada beberapa orang yang menjaga portal (palang pintu masuk menuju Pulau Mengare). Jarak portal Sembayat ke Pulau Mengare sepanjang 12 km. Setelah itu kita akan menemukan sebuah tugu yang bertuliskan ‘Selamat Datang Pulau Mengare Desa Watu Agung’. Sampailah kita di pulau yang keseharian penduduknya bercakap menggunakan bahasa Madura.
Sebagai wilayah kepulauan, penduduk setempat yang laki-laki kebanyakan melaut (nelayan) di Selat Madura. Terkadang ada juga yang bekerja sebagai buruh tambak yang letaknya hampir mengitari kepulauan tersebut. Sedangkan bagi yang perempuan lebih banyak tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Dan sebagian dari mereka ada yang memilih melancong ke luar kota, untuk mengadu nasib sebagai buruh pabrik. Seperti di Surabaya dan Jakarta.
Nelayan setempat kebanyakan mencari rajungan (sejenis kepiting), cumi-cumi dan udang. Setelah itu mereka jual kepada tengkulak. Khusus untuk rajuangan dijual nelayan pada sebuah Home Industry (rumah usaha) bernama Mini Plant. Usaha tersebut berupa pengelolahan daging rajungan untuk di ekspor ke luar negeri, seperti Amerika, inggris dan Jepang. “Ya, rajungan-rajungan ini kami beli dari nelayan dengan harga berbeda tergantung isinya dalam setiap kilogramnya,” tutur Miftahudin (39).
Lebih lanjut Miftahudin mengatakan rajungan dibelinya dari para nelayan perkilogramnya dengan isi 12 ekor untuk ukuran paling kecil dengan harga Rp. 22 ribu. “Dan harga itu untuk nelayan, beda lagi bila membeli dari tengkulak yang biasanya dengan harga Rp. 25 ribu,” Imbuhnya. Kendati demikian tidak selalu rumah usaha itu bertumpu pada nelayan. Karena rajungan yang diborong tergantung dari bentuk dan kwalitasnya. “Kalau lebih baik dari tengkulak, mengapa tidak,” tukas Wanto, salah seorang pekerja lainnya.
Belakangan geliat nelayan Pulau Mengare perlahan mengalami ujian. Tentu, akibat dari sebagian wilayah pesisir Gresik yang mengalami perubahan Mangrove. Terutama pengaruh industrialisasi yang berdampak pengkisan wilayah kelautan. Kawasan pesisir Gresik merupakan delta Brantas yang mengalami sedimentasi sehingga terjadi penambahan lahan pantai sampai beberapa kilo meter, hal ini menyediakan Feeding ground bagi berbagai jenis burung air, semua daerah pengamaan (Ujung Pangkah, Pulau Mengare, Kali lamong, dan Kebomas) memiliki banyak kesamaan karena dipengaruhi oleh proses sedimentasi.
Daerah Gresik banyak mengalami perubahan mangrove terutama digunakan untuk area industri dan pelabuhan. Mangrove tersisa di daerah tambak, pada garis pantai lainnya hanyalah semak mangrove atau komunitas ketebalan kurang dari 60 meter. Pengaruh dan dampak industrialisasi juga berdampak bagi mata pencaharian penduduk Pulau Mengare. Seperti yang diutarakan M. Sholeh kini kebanyakan warga di sini banyak yang bekerja di Jakarta sebagai buruh pabrik. “Mau bagaimana lagi bertumpu pada hasil laut, seperti itulah hasilnya,” tambahnya.
Pelarian Putri Solo
Tatkala kita singgah di suatu daerah, pasti banyak kisah yang bercerita tentang asal-usulnya. Begitu juga di Pulau Mengare, banyak kisah di balik kesunyian tempat ini.
Awal mula dari pulau yang memiliki jumlah penduduk sekitar 9.200 jiwa itu terkuak dari sebuah legenda Putri keraton Solo dan seekor ular raksasa. Saat itu sang putri keraton Solo melarikan diri dari perjodohannya dengan lelaki bangsawan asal Cina. Sang Putri pun pergi seorang diri dengan naik perahu menyisiri Sungai Bengawan Solo menuju jalur pantai utara menuju ke arah timur. Hingga akhirnya Sang Putri terdampar di Bengawan Legowo atau (kini; Telaga Pacar), yang terletak di Dusun Kramat, Pulau Mengare.
Sang Raja (Ayahanda Sang Putri) pun geram mengetahui kaburnya putrinya. Dan ia mengutus seekor ular raksasa milik keraton untuk mencari putrinya dengan menyisiri jalur pantai utara.
Alhasil, Sang Putri pun ditemukan oleh ular tersebut. Berkat bujukan ular jika perjodohan dibatalkan, akhirnya Putri mau kembali ke keraton. Sayangnya, niat buruk ular tersebut diketahui seorang waliyullah kota Gresik, yakni Sunan Giri (Raden Paku). Yang kala itu menguasai penyebaran ajaran islam di kota pudak.
Sunan Giri akhirnya mengutus Sunan Karebet (Jaka Tingkir) untuk mengutuk ular tersebut. Sempat terjadi pertarungan sengit, namun ular kalah hingga akhirnya mati dengan kondisi mengelilingi Pulau Mengare (kini,red). Menurut cerita dari salah seorang sesepuh Dusun Kramat, Mohammad Ahnan (54) mengatakan jika tubuh mayat ular itu akhirnya terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu bagian kepala adalah Dusun Kramat, bagian perut adalah Dusun Tajung Widoro, dan bagian ekor adalah Dusun Mentani (Watu Agung).
“Dan ketiga tempat itulah yang akhirnya menjadi bagian dari Pulau Mengare,” kata bapak 3 anak itu sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. Saat ditanya siapakah tokoh pertama kali yang babat alas Pulau Mengare. Ahnan mengatakan tokoh itu bernama Dimas Sulthan Kertabumi, salah seorang utusan kerajaan Panjaluh Tasikmalaya Jawa Barat. Yang makamnya dapat dijumpai pedukuhan Ujung Sawo Dusun Kramat.
naskah/foto : m. ridlo’i
1 Comment
apakah ularnya masih hidup