Gelombang fotografi semakin santer bergeliat di kalangan masyarakat. Saat ini, pelakukunya tak hanya sebatas fotografer profesional dan pewarta foto saja. Perkembangan teknologi kamera yang semakin pesat, secara tidak langsung banyak menarik minat masyarakat luas. Bahkan, sebuah telepon genggam pun saat ini mampu menghasilkan sebuah karya yang layak diperhitungkan.
Dewasa ini, fotografi tak hanya sebatas pameran dan diskusi foto saja. Sebuah ruang dan waktu coba dihadirkan oleh komunitas Cangkruk Buku Foto di Surabaya. Bertempat di MazelTov Coffee, Pakuwon City Surabaya, sebuah komunitas yang fokus dalam rana buku foto mencoba membedah “Apa itu Buku Foto?”.
Puluhan orang pun turut hadir dalam kesempatan kali ini. Mereka datang dari beberapa kalangan, tak melulu pewarta foto dan pecinta fotografi saja, mahasiswa dan seorang penerbit pun turut melebur dalam acara bertajuk Cangkruk Buku Foto #1, Rabu (18/11).
Dalam kesempatan kali ini, peserta yang hadir tak hanya dikenalkan pada “Apa itu Buku Foto”, mereka juga diajak membaca buku-buku fotografi koleksi anggota komunitas Cangkruk Buku Foto. Bahkan, bila bekenan para peserta bisa membawa koleksi buku foto miliknya untuk bertukar buku dengan para peserta lain.
Forum yang dihadiri peserta yang datang dari Surabaya dan Sidoarjo ini dipandu oleh Mamuk Ismuntoro, senior photographer indonesiaimages.net sekaligus pendiri Komunitas Matanesia, dan Fully Syafi, freelance photographer.
Selain diskusi dan display buku foto, Komunitas Cangkruk Buku Foto juga me-launching sebuah dummy photo book berisi karya foto lima fotografer Surabaya dan Sidoarjo. Sebelum menjadi sebuah dummy photo book, tim Cangkruk Buku Foto terlebih dulu menyaring foto-foto para partisipan yang diunggah lewat instagram dengan tema “Surabaya di Hati”.
Ditanya tentang latar belakang dibentuknya komunitas ini, Mamuk mengatakan, komunitas ini merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap gelombang besar buku foto yang di produksi sendiri. “Jika di Jakarta ada Jakarta Photo Book Club, maka di Surabaya ada Cangkruk Buku Foto,” kata Mamuk.
“Dengan persiapan selama sebulan, forum kali ini memang tak luput dari kekurangan, soal baik dan buruknya itu relatif. Namun, lebih baik bergerak daripada tidak sama sekali, apalagi untuk kegiatan posisif semacam ini”, lanjut Mamuk.
Senada dengan Mamuk, Fully Syafi turut angkat bicara dalam forum perdana bareng Cangkruk Buku Foto kali ini. “Kedepan, diusahakan tak hanya sekedar dummy photo book, untuk awal yang perlu diperhatikan bukan soal bentuk fisiknya, tidak perlu menghasilkan buku yang wah asal pesannya bisa tersampaikan”. Sergah Fully disela berlangsungnya diskusi.
Tahun 2012, gelombang besar buku foto muncul ditandai dengan terbitnya buku fotografi berjudul Passing karya dari Edy Purnomo yang sekaligus menjadi salah satu pioneer buku foto di Indonesia.
naskah dan foto : zulfikar firdaus