Matahari bergerak malas ke arah barat. Tapi di sungai itu, dua bocah tetap asyik berenang dengan penuh semangat. Sesekali tertawa riang, berteriak, dan saling melempar canda. Mereka anak-anak yang tinggal di sekitar Hutan Ketonggo, sebuah hutan yang terletak di 12 kilometer arah selatan dari Kota Ngawi.
Bagi masyarakat Babadan, Kecamatan Paron, Ketonggo dianggap sebagai hutan yang memiliki nilai spiritual lebih. Setidaknya jika dibanding dengan hutan-hutan lainnya di Ngawi. Nilai spiritual itu melekat gara-gara ada banyak pertapaan dan pesanggrahan di sana. Seperti Pundhen Watu Dhakon, Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Pundhen Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sendang Mintowiji, Kori Gapit, Pesanggrahan Soekarno, dan Pesanggrahan Agung Srigati.
Secara turun temurun, masyarakat Jawa Timur khususnya yang tinggal di pesisir utara meyakini, Pesanggrahan Agung Srigati adalah tempat paling sakral di tanah Jawa. Pesanggrahan Srigati, tak ubahnya ikon penjaga keseimbangan di hutan Ketonggo, sebuah kawasan yang dipercaya sebagai pusat kerajaan jin dan lelembut (makhluk halus, red).
Hutan Ketonggo memiliki luas kurang lebih 4.846 meter persegi. Meski pepohonannya tidak berdiri dalam format rapat, tapi saat sore hari, suasana magis langsung terasa. Kesan ini makin menguat jika kita masuk ke dalam dan melihat Pesanggrahan Agung Srigati.
Pesanggrahan ini memiliki bentuk bangunan yang sangat sederhana. Hanya rumah kecil berluas 12 meter persegi dan berkesan biasa saja. Tapi yang unik, di bagian dalam, ada gundukan tanah yang menurut sumber Majalah EastJava Traveler, jumlahnya terus bertambah. Inilah yang membuat para pengunjung yang khusus berburu berkah, tak lupa membawa tanah dalam pesanggrahan.
Selain aroma dupa yang menyengat, di beberapa sisi, khususnya di bagian dalam, nampak taburan bunga di mana-mana. Apalagi pada malam Jumat Pon dan Jumat Legi, atau bulan Suro, aroma dupa dan bunga jadi makin terasa. Karena pada hari-hari itu, jumlah pengunjung yang datang bisa mencapai ribuan orang.
Rata-rata yang datang ke pesanggrahan ini ingin beradu untung agar dapat rejeki, jabatan, kesehatan, jodoh, atau yang lain. Gambaran yang sama, juga muncul di pesanggrahan-pesanggrahan yang lain.
Mempesona
Di balik kesan sakral dan magis itu, bagi pengunjung yang lain, Ketonggo dianggap sebagai salah satu tempat wisata alam alternatif. Saat bepergian di jalur Ngawi, mereka mampir untuk beristirahat di sini.
Untuk yang sekadar mampir, para pengunjung hanya duduk di tepi hutan dan menikmati makan dan minum di sana. Sementara yang punya waktu agak panjang, langsung masuk ke dalam hutan untuk melihat-lihat pesanggrahan atau mandi di Kali Tempur Sedalem.
Sungai yang airnya nampak bening dan segar ini, selain sedap dipandang mata, juga diyakini sebagai sendang penuh berkah. Selain airnya dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit, jika kita berdoa di sebuah tugu di dekat sungai, niscaya akan dapat berkah. Kawasan ini, katanya, pernah digunakan sebagai tempat nyepi Presiden Soekarno, presiden pertama RI. Ini yang jadi alasan, mengapa masyarakat sekitar juga menyebut tempat ini sebagai Pesanggrahan Soekarno.
Di sisi lain, meski tak sepenuhnya berburu berkah, beberapa pengunjung banyak pula yang datang untuk sekadar membersihkan diri. Karena sendang pertemuan dua sungai ini memiliki pemandangan yang apik dan kualitas air yang bening dan segar. Tak hanya itu, kombinasi batu kali dan pepohonan di tepi sungai, makin mempercantik etalase alam hutan Ketonggo.
Fasilitas Publik
Bagi pemerintah Kabupaten Ngawi, keberadaan hutan Ketonggo dan Pesanggrahan Srigati dianggap sebagai aset wisata yang memberi kontribusi cukup poisitif. Untuk itu, awal Agustus lalu, Ir. H. Budi Sulistyono, Wakil Bupati Ngawi, meresmikan Musholla Agung Srigati di sana. Dalam sambutannya, Budi menegaskan, jika keberadaan Srigati di ranah wisata Ngawi sebenarnya cukup diperhitungkan. Jika ada trend pengembangan wisata kuliner, Kabupaten Ngawi lewat Srigati-nya ingin mempertegas eksistensinya sebagai salah satu kawasan yang kuat di sisi wisata spiritual.
Untuk itu, kata Budi, pemerintah akan berupaya agar ke depan bisa menganggarkan pengaspalan jalan pada APBD tahun 2010. Secara administratif, kawasan Srigati memang berada di wilayah Perhutani. Tapi secara status, diposisikan sebagai Lapangan dengan Tujuan Istimewa (LDTI). Sehingga secara hukum, bisa digunakan untuk kepentingan umum.
Keseriusan pemerintah kabupaten dalam mengelola tempat wisata ini, selain berpijak pada potensi alam dan perkembangan spiritual, juga berdasar pada keyakinan sejumlah orang tentang akar sejarah Srigati. Ada yang mengatakan, tempat ini sebenarnya satu dari sekian petilasan Raja Brawijaya.
Pada abad ke-13, beberapa saat setelah dikalahkan Raden Patah, Prabu Brawijaya meninggalkan Majapahit bersama rombongan dan pengawal setianya. Dalam perjalanan, mereka berhenti di Ketonggo dan beristirahat di Srigati. Di bangunan pesanggrahan itulah Prabu Brawijaya bertapa agar dapat petunjuk dari Sang Pencipta.
Pendapat ini tentu masih perlu diuji secara ilmiah. Tapi para tetua hutan Ketonggo dan para juru kunci pesanggrahan yakin, ada banyak hal istimewa yang telah terjadi di Ketonggo. Mereka berdalih, jika tak memiliki keistimewaan sejarah, Ketonggo tak mungkin menyisakan banyak keajaiban.
naskah dan foto : dwi wirawan | matanesia.com