Musim panen tiba, hasil pun melimpah. Saatnya menggelar tradisi ungkapan syukur pada Sang Kuasa. Warga Desa Alasmalang, Kecamatan Sigojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang mayoritas bekerja sebagai petani menggelar adat bersih desa Kebo-keboaan. Dalam acara itu, digelar kirab budaya di sepanjang jalan desa dan di persawahan kawasan desa, dengan simbolisasi kebo (kerbau) yang diperagakan warga desa setempat.
Tradisi budaya Kebo-keboan adalah bentuk rasa syukur warga desa setempat pada Sang Kuasa. Karena mereka percaya hasil panen yang melimpah patut disyukuri, agar marabahaya tak melanda.
Juga merupakan upaya masyarakat setempat, untuk tak lupa akan hubungan antara manusia dengan alam serta makhluk hidup lainnya pun harus tetap terjalin. Seperti yang tersampaikan dari Kebo-keboan sendiri.
Bermacam tanaman hasil bumi menghiasi di tiap jalan desa. Untuk mendapat kesan suasana persawahan, jalanan pun dialiri air bercampur dengan tanah.
Dengan dipimpin tokoh adat setempat, ritual kebo-keboan dimulai dengan kenduri 12 tumpeng dan doa bersama di jalan utama desa. Sebanyak 18 manusia kerbau yang seluruhnya laki-laki diarak mengelilingi empat penjuru Desa. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi.
Sebelum ider bumi dilakukan, para manusia kerbau itu dimakeup layaknya kerbau. Sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk. Tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau. Dan mereka dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat.
Biasanya, usai dimandikan mereka akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa. Setelah itu, sang pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi pada si kerbau.
Alunan musik tradisional using mengiringi selama prosesi ider bumi. Satu pasang kerbau akan dijaga satu orang petani. Sebab, sesekali ulah manusia kerbau yang mulai kerasukan roh itu bertingkah layaknya kerbau sungguhan.
“Ritual ini bertujuan sebagai wujud rasa syukur warga yang menggantungkan hidupnya dari bertani, dan juga untuk tolak balak dari marabahaya,” jelas Indra Gunawan, Ketua Penyelanggara Kebo-keboan.
Kebo atau kerbau sengaja dipilih menjadi simbol yang mewakili, lantaran kerbau dinilai hewan yang selalu membantu petani dalam mengelola sawah penduduk. Karena kesetiaan ala kerbau yang tanpa lelah melayani manusia dalam mengolah bumi itulah, sebuah logika pun dibalik, seperti yang tergambarkan dengan dandanan dan tingkah laku bak kerbau yang dilakukan warga desa Alasmalang.
Menariknya, perilaku warga yang berlagak bak kerbau itu nampak mirip dengan kerbau sungguhan. Ada yang berlenggak-lenggok, ada yang meraung-raung, dan adapula yang berusaha menyeruduk penonton. Seperti kala mereka beringas jika melihat warga yang mencoba mengganggu seorang gadis yang divisualisasikan sebagai Dewi Sri, dewi kesuburan.
Tak ayal inipun jadi tontonan menarik bagi warga setempat, wisatawan dari luar Banyuwangi, bahkan para fotografer tak henti-hentinya membidik para kebo yang sedang beraksi.
Ritual diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi. Benih padi ini menjadi rebutan warga. Karena diyakini menghasilkan hasil penen yang lebih berlimpah lagi. Tak heran warga nekad berebut meski harus dikejar-kejar kerbau. Jika tertangkap tubuh warga itu akan dibenamkan ke sawah.
“Inilah yang dinanti-nantikan, berebut benih padi. Benih dari ritual ini diyakini tahan hama dan bisa bikin panen berlimpah,” terang Suharjoko, seorang petani Alasmalang.
Wangsit
Warga Desa Alasmalang percaya, Kebo-keboan pertama kali digelar sekitar 300 tahun silam oleh sesepuh desa bernama Buyut Karti.
Saat itu, harmoni kehidupan warga Desa Alasmalang tiba-tiba dirusak akibat datangnya pagebluk atau wabah mematikan. Dikisahkan, dalam waktu beberapa jam saja, banyak warga desa yang mendadak meninggal.
Seketika itu Buyut Karti yang dianggap sakti, memperoleh wangsit untuk melakukan ritual Kebo-keboan yang harus digelar pada tanggal 10 Muharram (bulan Islam) atau 10 Suro (bulan Jawa).
Ritual itu diawali dengan selamatan di empat penjuru desa, penanaman gapura palawija di jalan masuk desa dan sesembahan 12 tumpeng. Ritual ditutup dengan ider desa (memutari desa) oleh kebo-keboan. Usai melakukan ritual itu, tiba-tiba pagebluk hilang.
“Sejak saat itu, warga Alas Malang melakukannya secara rutin,” kata Indra Gunawan lagi, sebagai salah seorang keturunan Buyut Karti.
Sosok kerbau (binatang) dalam Kebo-keboan menjadi inti dari tradisi ini. Sayangnya tidak ada yang mampu menjawab, mengapa jumlah pelaku kebo-keboan haruslah 18 dan diperankan oleh penduduk asli Desa Alasmalang sendiri?
naskah dan foto : wt atmojo