Hari beranjak siang saat awak eastjavatraveler.com datang ke benteng ini. Puluhan pengunjung, sebagian sepertinya sudah datang sejak pagi, berjalan riang di lorong dan halaman bangunan tua yang terletak di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi ini.
Sesekali mereka tertawa lepas, mengabadikan momen bersama, lalu kembali berjalan entah kemana. Sebagian kemudian berbelok ke salah satu sudut, mencari minuman segar di sebuah kedai.
Di lorong pintu masuk dan dinding gedung utama, nampak banner raksasa bergambar si pendiri benteng, Johannes Graaf Van den Bosch. Sesuai namanya, bangunan tua ini pun diberi nama Benteng van den Bosch.
Johannes Graaf Van den Bosch adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-43. Lelaki yang lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780 ini memerintah pada tahun 1830 hingga 1834.
Dalam sejarah Indonesia, namanya lekat dengan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ditulis Wikipedia, tanam paksa adalah strategi untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang kehabisan dana, karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni. Utamnya di Jawa dan Sumatera.
Benteng van den Bosch, akrab pula disebut Benteng Pendem, memiliki ukuran bangunan 165 meter x 80 meter. Bangunan yang kini nyaris tak beratap itu dibangun di atas lahan seluas 15 hektar. Meski dikelilingi sungai kecil dan pepohonan, benteng ini terkesan tandus.
Hanya di dalam ruang-ruang benteng, kita dengan mudah menemukan pohon-pohon tua yang tumbuh begitu saja. Bentuk dahan dan akranya yang melingkar-lingkar memberi kesan mistis. Mungkin ini yang jadi alasan, sejak masuk di benteng, kita sudah diberi wanti-wanti agar tak melakukan hal-hal negatif.
Untuk menjangkau benteng ini, kita bisa berangkat dari Kantor Pemerintah Kabupaten Ngawi yang jaraknya cuma 1 kilometer arah timur laut. Atau dengan mengikuti aliran Sungai Bengawan Solo, lalu menuju sudut pertemuannya dengan Sungai Madiun.
Dari catatan yang ada, benteng ini dulunya dibangun dengan posisi lebih rendah dari tanah sekitar. Kesan ‘tenggelam’ ini yang kemudian melahirkan nama Benteng Pendem.
Desain bangunannya yang tinggi, kokoh, dan tersembunyi, tentu saja berhubungan kuat dengan sejarah perlawanan nenek moyang kita. Yakni tokoh perlawanan Madiun, Bupati Kerto Dirjo, Adipati Judodiningrat di Ngawi, Raden Tumenggung Surodirjo, dan Wirotani, pengikut Pangeran Diponegoro.
Ngawi yang kala itu jadi pusat perdagangan dan pelayaran di Jawa Timur, tumbuh menjadi pusat pertahanan Belanda di wilayah Madiun dan sekitarnya. Saat Ngawi jatuh pada 1825, bersamaan dengan dimulainya Perang Diponegoro, Pemerintah Hindia Belanda membangun benteng ini.
Bersama Van Den Bosch, tak kurang dari 250 tentara Belanda bersenjata lengkap tinggal dan bertahan di sini.
Seiring perjalanan waktu, Benteng Pendem mulai terkikis oleh jaman. Bangunan perkasa itu berdiri megah namun menyisakan kesan yang sangat rapuh. Bahkan beberapa tempat mulai runtuh. (naskah dan foto : hendro d. laksono)