Menyebut nama lontong, kita langsung ingat makanan khas Jawa Timur seperti lontong mie, lontong kupang, dan rujak cingur. Atau makanan khas Indonesia macam sate, gado-gado, dan lain sebagainya.
Bagi sebagian masyarakat Surabaya, nama lontong juga identik dengan sebutan sebuah kampung yang terletak di Kelurahan Kupang Krajan. Kampung Lontong, begitu warga sekitar menyebutnya, berada di kawasan pemukiman padat, di Jalan Banyu Urip X, Surabaya.
Sebutan Kampung Lontong sejalan dengan aktifitas sebagian besar warga yang banyak menggantungkan hidupnya dengan memproduksi makanan berbahan daun pisang ini. Sumber eastjavatraveler.com di kampung ini mengatakan, meski sulit diketahui pasti, tapi sebutan Kampung Lontong muncul sejak tahun 1980-an.
Saat itu, sejumlah warga kampung aktif membuat lontong dan dijual di pasar. Saat permintaan pasar terus merangkak naik, munculah rumah-rumah produksi lontong yang rata-rata melibatkan para wanita dan ibu rumah tangga.
Tiap rumah produksi bisa membuat 400 hingga 3000 lontong per hari. Untuk memproduksi lontong sebanyak ini, mereka butuh setidaknya dua karung beras dan 500 helai daun pisang. Meski tanpa menggunakan bahan pengawet, lontong produk mereka bisa bertahan hingga dua hari.
Agung Priyatno (35), salah satu produsen lontong di tempat ini mengaku, ia mengawali bisnis produksi lontong sejak enam tahun silam. Saat ini, pria yang akrab disapa Antok ini mampu memproduksi 3000 lontong dalam sehari.
“Dalam sehari saya mampu mem-produksi 3000 lontong dengan menghabiskan 80 kilogram beras, 5 tabung gas elpiji 3 kilogram serta 300 lembar daun pisang”, ujarnya sembari menata ratusan lontong di dalam panci berukuran besar sore itu.
Untuk memenuhi target produksi tersebut, pria asal Surabaya ini menggunakan tiga tabung panci besar yang mampu menampung 700 buah lontong. Demi mendapatkan lontong yang matang dengan sempurna, dibutuhkan waktu 8-9 jam perebusan.
Sama seperti warga yang lain, usai produksi lontong-lontong buatan warga Banyu Urip Lor ini kemudian didistribusikan ke berbagai pasar yang ada di Surabaya dan sekitarnya. Mulai dari Pasar Jarak, Simo, Tembok, Keputran, dan masih banyak lagi. Selain dikirim ke pasar Surabaya, produk mereka juga sampai ke Pasar Larangan Sidoarjo dan Balongpanggang Gresik. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, warga membuat kesepakatan. Setiap pasar hanya dipasok 4 sampai 5 pembuat lontong saja.
Kini, warga kampung lontong bisa bernafas lega. Dari lontong, mereka rata-rata mendapat penghasilan yang relatif baik. Seperti Antok misalnya, setiap bulannya ia mampu mengantongi laba setidaknya Rp 3 juta. Pada hari istimewa seperti lebaran, raihannya bisa berlipat jauh lebih tinggi.
naskah : poundra aditya | foto : rangga yudhistira