Menjadi pribadi yang mencintai bangsa dan tanah air Indonesia, bisa dibuktikan melalui banyak hal. Misalnya saja menjadi seorang seniman. Heri Prasetyo atau Heri Lentho. Pria asal Malang ini, salah satu dari sekian banyak seniman tanah air yang konsisten menyerukan ide-ide Merah Putih lewat karyanya. Berbekal bakat menari, pria kelahiran 13 Mei 1967 ini, banyak menciptakan koreografi dan mendapatkan penghargaan.
Karya pertamannya berjudul “Lentho” dibawakan tahun 89-an, dengan iringan puisi “Generasi Gagap” milik WS. Rendra. Karya yang bertujuan untuk mengkritik perilaku mahasiswa yang cuek terhadap sosial masyarakat waktu itu.
Tak disangka, judul itulah yang akhirnya melekat pada namanya. “Sejak pertunjukan itu saya dipanggil Heri Lentho. Sebelumnya memang di kampungku sana, dipanggil Lentho (sejenis makanan). Aku sendiri gak suka makan Lentho, tapi sekali makan kok banyak. Akhirnya dipanggil Lentho itu,” ungkap pria berkepala botak ini.
Karya Lentho, disusul dengan beberapa karya lain seperti Kedok (1990), Wadam (1991), Dwi Oknum (1995), dan masih banyak lagi.
Meskipun di masa itu segala bentuk demo dan protes terhadap pemerintahan sangat dibatasi, tapi mantan mahasiswa IKIP Surabaya ini tak habis akal. Ia menemukan gerakan kesenian yaitu Demo Tari. Demo Tari, yang digagas Heri Lentho pada akhirnya bisa mengeluarkan kelompok mahasiswa ke jalan untuk aksi, dibelakang pertunjukan tari yang dibawakannya. Gerakan kesenian itu kini banyak ditiru dengan sebutan Happening Art.
Tak hanya itu, Heri Lentho pun aktif di organisasi dan acara-acara kesenian daerah, misalnya Festival Topeng Muludan di Surabaya, Surabaya Juang, dan Citraland Superfest Surabaya.
Seniman Berjiwa Kesatria
Darah seninya lahir dari keluarga bekas gerilyawan. Sang ibu yang bekerja sebagai juru masak di salah satu rumah keluarga Cina, juga merangkap tugas sebagai pemeriksa tiket pertunjukan wayang orang di Gedung Flora Malang, milik majikannya. Sang ibu sering menggerak-gerakkan tangan Heri Lentho kecil mengikuti irama Kiprahan wayang orang itu. “Mungkin dari sana, darah kesenian saya bermula,” ujarnya mengenang.
Selain jiwa kesenian, Heri Lentho banyak belajar tentang kedisiplinan, rasa tanggung jawab, dan mandiri, dari sosok sang paman. Saat bertugas sebagai pejuang, mata sang paman terkena mortir, sehingga mengalami kebutaan. Heri Lentho kecil bertugas menemani sang paman melakukan aktivitasnya sehari-hari. “Dia kalau bekerja, aku harus menuntun. Upahnya, aku dikasih lagu-lagu grilya. Paman sebagi pejuang Veteran juga tidak mau mengurus administrasi agar dapat tunjangan, dia bilang perjuang kok pamrih, itu salah satu yang tertanam dibenak saya. Keteladanan ibu dan pamanku itu yang mewarnai nilai-nilai ekspresi selama jadi seniman,” terang anak terakhir dari tujuh bersaudara ini.
“Seniman juga seniman, tapi dia harus memilih jiwanya itu. Kalau saya memilih jiwa kesatria. Kan ada seniman yang gak jelas posisi jiwanya dimana. Jiwa kesatria harus berani menghadapi sesuatu, jelas, tegas, disiplin buat saya itu, itu yang penting.” Imbuhnya dengan nada serius.
Keseriusannya dibidang seni membuat laki-laki yang gemar memakai baju batik ini, sangat pantas jadi teladan. Banyak prestasi yang telah dicapai, misalnya pada tahun 2014, ia menerima penghargaan dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia untuk katagori kreator seni pertunjukan. Di tahun 2015 ini, ia mendapat undangan dari Tadashi Suzuki, Sutradara Suzuki Company Of Toga (SCOT), untuk menampilkan pertunjukan kesenian daerah di Toga Festival, Jepang. Heri Lentho mengaku akan membawakan koreografi berjudul Topeng Bang-Tih (abang-putih) atau dalam Bahasa Indonesia yang berarti merah-putih. Prestasi yang ia torehkan itu tentunya membanggakan bagi Negara Indonesia.
naskah dan foto : pipit maulidiya | istimewa