Nampak ramah, para ibu rumah tangga itu tersenyum menyambut kedatangan tim eastjavatraveler yang berkunjung untuk melihat aktivitas mereka membuat kue.
“Jangan dipotret dulu ya, belum cantik,” sergah salah satu ibu, disambut cekikikan ramai yang lain disela-sela aktivitas bembuat kue. Demikian lah, keseharian para ibu pemukiman Rungkut Lor II, Surabaya yang terbilang cukup produktif.
Mereka bukan hanya sekelompok ibu rumah tangga biasa, melainkan ibu rumah tangga yang juga memegang peran dalam pendapatan keluarga.
Bisa dibilang, aktivitas membuat kue tersebut menjadi sumber utama bagi sebagian besar warga Rungkut Lor II, hingga berujung penamaan Kampoeng Kue pada pemukiman mereka.
Perkembangan ini tak lepas dari usaha dan kegigihan sosok Choirul Mahpuduah atau yang kerap disapa Irul, perempuan berumur 34 tahun.
“Beliau yang selalu memberikan kita (ibu-ibu warga kampung Rungkut Lor II) semangat membuat kue,” terang Sumiatun, anggota komunitas Kampoeng kue.
Hal ini diakui Chairul Mahpuduah, perempuan cantik berkacamata tersebut. Ia merasa terpanggil karena banyak persoalan di masyarakat (Rungkut Lor II, Surabaya), “banyak keluarga miskin, nganggur, lingkungan kumuh, kasus demam berdarah, gizi buruk. Sehingga saya terpanggil dan akhirnya melakukan pemetaan potensi warga,” aku perempuan yang juga aktif di organisasi Solidaritas Perempuan ini.
Proses pemetaan potensi oleh Irul sejak 2005 silam itu pun bersambut baik. Masyarakat Kampoeng Kue mulai menerima banyak penawaran pelatihan dan kerja sama yang datang dari pemerintahan tenaga kerja dan beberapa produk bahan membuat kue.
Tak sampai disitu, Irul dan warga yang tergabung dalam komunitas selalu meluangkan waktu untuk mengajari masyarakat yang ingin belajar membuat kue. Mereka yang ingin belajar juga bisa meminjam alat yang dibutuhkan untuk membuat kue, atau bahkan meminjam uang untuk memulai usaha kue melalui koperasi Kampoeng Kue.
Selain disibukkan membuat kue dan mengikuti berbagai pelatihan, warga Kampoeng Kue aktif dalam kegiatan pengembangan pengetahuan kesehatan, pemahaman gendre, dan mengasuh anak.
“Jangan sampai orang-orang sudah punya penghasilan lupa dengan yang lainnya yang juga penting, misalnya kesehatan dan memberikan perhatian kepada anak,” tambah perempuan yang aktif di serikat buruh 22 tahun silam ini.
Sejauh ini sudah 65 kepala keluarga yang tergabung dalam komunitas membuat kue. Selain menerima pesanan khusus, bermacam kue basah Kampoeng Kue biasanya diserbu para tengkulak atau bakul sejak pukul lima pagi untuk dijual kembali. Juga di jajakan ke pasar-pasar besar di Surabaya, seperti Pasar Rungkut, Soponyono, dan masih banyak lagi.
Melihat begitu banyak diminati masyarakat Surabaya dan sekitarnya, warga Kampoeng Kue tidak ingin menghianati para pelanggannya. Kue yang diproduksi tetap dibuat dengan bahan-bahan yang aman untuk dikonsumsi, seperti pewarna makanan yang aman dan tidak menggunakan pemanis buatan.
“Kue-kue dari Kampoeng Kue juga dibuat oleh tenaga terlatih, dalam pengawasan dan binaan, kue dijual murah, kisaran Rp 1000 rupiah sampai Rp 3500 per kue,” tambah Irul. Selain sehat, kue yang dijual cukup murah.
Tak heran jika setiap harinya, Kampoeng Kue bisa memproduksi 25.000 kue dari 70 jenis kue. Kue yang banyak terjual diantaranya kue-kue basah, seperti kue klepon, lumpur, lapis, dan masih banyak lagi.
Tak menutup kemungkinan, usaha bersama ini berkembang dan mensejahterakan anggota. Banyak diantara mereka yang mulai membuka rumah produksi sendiri, dengan menerima berbagai pesanan kue, baik kue basah maupun kue kering.
Selain menjadi sentra pembuatan kue, Kampoeng Kue juga ramai dikunjungi wisatawan atau pelajar yang ingin belajar membuat kue. Bahkan mahasiswa yang ingin belajar manajemen pengolahan koperasi Kampoeng Kue.
“Banyak yang berkunjung kesini untuk belajar, anak-anak SD belajar bikin kue. Teman-teman mahasiswa juga, belajar manajement koperasi Kampoeng Kue,” tambah Irul, menjelaskan.
naskah : pipit maulidiya | foto : farid rusly