Dipenghujung tahun 2015, Suwandi (50) mencoba menutupnya dengan manis. Berbekal kertas-kertas bekas kalender hingga majalah, coba disulapnya menjadi barang yang memiliki nilai jual.
Ditemani istri, Suwarti (47), dengan beralaskan tikar lusuh yang dikeber di trotoar jalan Kapasan Surabaya, lembaran kertas tadi dirangkainya membentuk selongsong yang menyerupai terompet, lengkap dengan kertas warna-warni dan pernak-pernik lainnya.
Suwandi memang bukan pemain baru dalam pembuatan terompet. Sejak 1987, jalan Kapasan sudah menjadi tempat singgah bapak dua anak ini meraup pundi-pundi rupiah dengan terompetnya, terutama kala tahun mulai mencapai puncaknya.
Berbagai jenis terompet ia tawarkan, mulai dari yang berbentuk kupu-kupu hingga terompet yang menyerupai naga tergantung rapi di tempatnya berjualan. Harga yang ditawarkan pun cukup murah, 7.500 rupiah untuk terompet yang biasa, untuk bentuk naga dibanderolnya dengan harga 20-25 ribu rupiah tergantung ukurannya.
Omsetnya mencapai belasan juta rupiah, dengan waktu tak kurang dari sebulan pria asal Lamongan ini mampu meraup keuntungan hingga 17 juta rupiah tahun lalu.
“Hingga hari ini (30/12) sekitar tiga ribu terompet sudah terjual, pembelinya banyak yang datang dari hotel dan perusahaan di Surabaya”, ungkap pria yang kesehariannya berjualan mainan anak-anak ini.
Tahun baru dan dan terompet ibarat dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. Tak dipungkiri, alat musik satu ini telah menambah semarak perayaan tahun baru di berbagai belahan dunia.
Entah sejak kapan, disamping kembang api, terompet telah menjelma menjadi simbol perayaan tahun baru.
Bila Anda juga tertarik meramaikan tahun baru dengan terompet, mampirlah ke sisi jalan Kapasan, lokasinya tak jauh dari area Pasar Kapasan. Tak hanya Suwandi dan Suwarti, banyak pedagang lain yang juga menjajakan terompet di sepanjang jalan ini.
naskah dan foto : rangga yudhistira