Kecintaan terhadap sejarah kini tak hanya dilakukan lewat membaca buku atau mengoleksi barang antik. Tapi bisa juga dilakukan dengan melestarikan kebudayaan yang sudah lama ada. Mulai dari kesenian, kuliner, hingga bangunan bersejarah.
Di Surabaya sendiri, aktifitas melestarikan budaya terus dilakukan. Seperti halnya kesenian ludruk yang sedang gencar diadakan di Taman Hiburan Rakyat (THR), seni tari tradisional di Taman Budaya Cak Durasim, dan bertahannya kuliner Surabaya seperti Lontong Balap, Rujak, dan Semanggi Suroboyo.
Tapi kegiatan pelestarian agaknya kurang menjangkau bangunan tua dan besejarah yang ada, hingga tak jarang aset bangunan cagar budaya itu tiba-tiba ‘hilang’ dengan sendirinya. Seperti rumah tahanan Kalisosok, Jembatan Petekan, dan Gereja Synagogue yang sampai hari ini belum juga mendapat perhatian dan bahkan sudah hilang diratakan oknum tidak bertanggung jawab.
Hal inilah yang sedang disuarakan Freddy H. Istanto, ketua Surabaya Heritage Society. Laki-laki yang juga memiliki profesi sebagai dosen Arsitek dan Sosial Enterpreneur di salah satu universitas swasta ternama di Surabaya ini, tak takut menghadapi siapapun yang dengan sengaja menelantarkan dan menyalahgunakan bangunan bersejarah di Surabaya.
“Saya sering marah-marah di media, tujuannya ya untuk sosialisasi ke masyarakat, pentingnya bangunan-bangunan bersejarah itu,” ujar laki-laki berkacamata ini dengan semangat. Hal itu juga dikarenakan kecintaannya terhadap bangunan tua, yang seolah membawanya kembali ke ribuan tahun silam. “Saat saya berjalan di jalan raya misalnya, saya bayangin ada kereta disana dengan suara belnya, atau berada di gedung tua, bayangin aktivitas orang-orang dulu, asik aja.”
Tak disangka, aktivitasnya sebagai aktivis sosial dikenal sampai kalangan pebisnis. Ketenaran namanya pun berawal dari undangan salah satu penyiar stasiun radio bisnis di Surabaya. “Saat itu saya diundang untuk menutup rangkaian acara bisnis, dia (penyiar) mengatakan kalau saya punya personal branding yang kuat,” kisahnya kepada eastjavatraveler.com
Freddy juga dianggap memiliki karakter unggul karena konsistensinya dibidang arsitek dan heritage di Surabaya, tak heran jika ia banyak mendapat kesempatan sebagai pembicara soal heritage Surabaya dilingkup nasional bahkan International, diantaranya Hong Kong, Singapura, bahkan Eropa. Sesekali ia juga diminta menjadi guide atau pemandu turis asing untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Surabaya.
Perjuangannya bersama komunitas Surabaya Heritage Society memang tidak bisa dianggap enteng. Beberapa bangunan tua yang mereka perjuangkan itu kini masih berdiri, pula bermanfaat untuk segi ekonomi dan pariwisata Surabaya. “Pebisnis yang dulu gemar meratakan bangunan cagar budaya sebagai lahan usaha mereka, sekarang lebih menggunakan bangunan cagar budaya sebagai bagian dari bisnisnya, misalnya de-Soematra, Kantor Wismilak, Hos Sampoerna, resto 1914, masih banyak lagi,” terangnya bangga.
Di usia 59 tahun, bapak dua anak ini semakin gencar memperjuangkan cagar budaya Surabaya. Jiwa pejuangnya memang sudah tertanam dalam. “Saya orang Surabaya asli, kecil dan tumbuh di perkampungan, di daerah Peneleh sana,” tuturnya mengenang.
Seiring berjalannya agenda pemerintah Surabaya dalam melindungi cagar budaya, Freddy menitipkan kekhawatiranya, “kalo dulu takut dengan pebisnis, sekarang takut pemerintah kota, kuatir tidak konsisten perannya dalam melestarikan bangunan cagar budaya,” trang Freddy cemas.
naskah : pipit maulidiya | foto : istimewa