Kualitas film Indonesia dipengaruhi oleh banyak hal. Diantaranya, eksistensi dan pelaksanaan UU yang mengatur perfilman nasional. Kesimpulan ini muncul dalam lokakarya tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman Nasional, yang diadakan di Gedung Bromo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur (Disbudpar Jatim), Selasa siang (11/2) ini.
Dihadiri anggota dewan legislatif, Komisi Perfilman, dan sejumlah undangan lainnya, lokakarya yang digelar oleh Disbudpar Jatim ini menghadirkan narasumber dr. Harun. M.si, MM (Kepala Disbudpar Jatim) dan Suko Widodo (Komisaris Perfilman).
Diskusi ini diadakan untuk memperoleh masukan dari masyarakat, mengingat RUU Perfilman 2009 saat ini sudah akan disahkan. Sebelumnya, UU Perfilman No. 8 Tahun 1992, dinilai sudah tidak sesuai dengan situasi sekarang, sehingga berdampak pada optimalisasi film sebagai pembentuk karakter bangsa.
Ketimpangan ini yang membuat perfilman Indonesia kian buruk. “Belum lagi kebiasaan latah masyarakat Indonesia menjadikanya tidak kreatif. Misalnya tema hantu dinilai sukses, lalu semua bikin film hantu. Sinetron-sinetron kini juga terlalu mendramatisir cerita,“ kata Harun.
Sehingga, makin marak film-film nasional yang tidak lagi bermoral dan mendidik. Oleh karena itu, wacana penggantian UU ini dinilai sangat diperlukan.
UU No. 8/1992 tentang perfilman juga dinilai kurang jelas dan lengkap dalam hal perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan terhadap perkembangan industri perfilman itu sendiri. Sedangkan, RUU Perfilman 2009, diharapkan lebih mampu memenuhi kekurangan ini, diantaranya dalam membuat batasan sensor film dan kelembagaannya.
“RUU ini juga diharapkan lebih mampu memberdayakan masyarakat, sekaligus memperkuat potensi film sebagai media pembentuk karakter bangsa,” tambah Suko Widodo. Ia juga berharap, dengan pembenahan-pembenahan ini, ke depan, tiap daerah mampu memiliki karya yang lebih bagus dan berkualitas.
naskah : shiska pradibka | foto : dhimas prasaja