Di dunia ludruk, seniman satu ini dapat dibilang salah satu bintang lawak ludruk papan atas yang dimiliki Jawa Timur. Lantaran kepiawaiannya di atas panggung dalam mengkidung dan mengocok perut penonton.
Ya, dialah Agus Kuprit, Seniman ludruk RRI Surabaya. Ia berupaya menghadirkan materi lawakan yang santun dan tidak berbau suku, agama dan sara (SARA) atau pornografi. Akan tetapi dikemas dengan gaya bahasa yang sangat lucu serta natural.
Peludruk asal Kenongo, Tulangan, Sidoarjo, yang memiliki nama asli Agus Ali Said ini di seni ludruk mengawali kariernya menjadi pelawak ludruk pada tahun 1970-an belajar dari seniman ludruk Air Mancur Semarang sekaligus pelawak senior Gondo dan Pak Kuprit. Kemudian setelah itu ia bergabung dalam ludruk RRI Surabaya.
“Sejak saya menggantikan Pak Kuprit yang ditarik menjadi staf di kantor, jadilah saya kemudian punya nama panggung Agus Kuprit hingga sekarang” ungkap pria kelahiran 1 Desember 1958 ini.
Saat itu sebagai seniman panggung keliling, Agus Kuprit dapat dibilang telah banyak merasakan getir kehidupan. Karena biaya hidupnya bergantung pada tanggapan (permintaan panggung). “Saya bahkan pernah sekitar sebulan tak main. Waktu itu saya bersama sebuah grup ludruk di Kota Salatiga. Jadilah untuk makan pun saya mencari dan memasak beton (biji buah nangka) karena waktu itu sedang panen nangka,” kenangnya lirih.
Namun, bukan Agus Kuprit, jika tak punya semangat tinggi. Baginya kondisi seperti itu hanyalah sebuah ujian bagi keteguhannya menekuni seni ludruk dari Sang Kuasa. “Kalau niat kita sudah bulat, rasanya tidak ada yang susah. Terpenting kita harus sabar, ikhlas dan konsisten pada prinsip hidup,” tegasnya.
Sebagai seniman ludruk yang piawai melantunkan kidung jula-juli dan melawak, melihat perkembangan jaman seperti sekarang, ia merasa prihatin jika ludruk suatu ketika akan berhenti generasi penerus. “Saya sudah tua, siapa yang akan meneruskan? Anak muda suka bimbang, mereka ragu memilih menjadi seniman ludruk. Padahal kalau ditekuni serius, saya yakin sandang pangan tercukupi,” kata anggota ludruk RRI Surabaya sejak 1991 hingga sekarang.
naskah: m.ridlo’i | foto: farid rusly