Siapa yang menyangka. Dari sebuah desa kecil di Mojokerto, berbagai kerajinan perak berbentuk giwang, liontin, gelang, dan masih banyak lagi, berhasil menembus pasar internasional. Bahkan saat krisis global melanda Eropa, salah perajinnya yang bernama Purbo, masih rajin mengirim produk andalannya ke Jerman.
“Dulu sebelum krisis global melanda Jerman, saya setiap bulan selalu mengirim hasil kerajinan perak ini sebanyak hampir 1 kwintal, yang terdiri dari berbagai macam bentuk,” ungkap Purbo saat ditemui di rumahnya, Desa Batan Krajan RT 02 RW 03, Kecamatan Gedeg, Mojokerto, Jawa Timur.
Purbo menceritakan bahwa kerajinan perak sempat mengalami masa yang paling menyenangkan sebelum krisis moneter pada 1998. Sempat bangkit namun kembali lagi terkena efek Bom Bali. Setelah Bom Bali, kerajinan perak sebenarnya sempat bangkit lagi, namun lgi-lagi krisis global di Eropa membuat banyak perajin harus ekstra megetatkan ikat pinggangnya. Tidak sedikit yang malah gulung tikar da berpindah ke profesi yang lain.
Di Desa Batan Krajan, sewaktu kerajinan ini booming, setidaknya ada sekitar 41 usaha yang memperkerjakan penduduk sekitarnya. Kini menurut Purbo yang tersisa sekitar 7 usaha saja. Krisis global yang terjadi Eropa benar-benar memukul pelaku usaha di dalam negeri. Orang Eropa yang biasanya royal membelanjakan uangnya untuk barang-barang kerajinan dan aksesoris otomatis menjadi berhenti, sebab lebih mengutamakan hal yang lebih penting.
Meski pasar Eropa sedikit tersendat, Purbo mengaku masih cukup senang dengan pasar lokal. Menurut Purbo, pasar lokal sangat menyukai bahan dari jenis swasa, yang bahan mirip emas atau sering juga disebut pengganti emas. Apalagi jika harga emas melambung tinggi, permintaan aksesoris yang dari swasa biasanya juga ikut terkerek naik. Mungkin mereka yang tidak mampu membeli emas, akan membeli jenis ini.
Menurut Purbo, tidak semua perajin perak menguasai teknik peleburan swasa. Selain ketelitian, juga dibutuhkan kesabaran untuk bahan dari jenis ini. Kata Purbo bahan dari swasa sangat keras dan mudah pecah jika tidak hati waktu proses pembentukannya.
Di Desa Batan sendiri, usaha ini mulai tumbuh sekitar tahun 1980-an. Purbo dan beberapa orang adalah perintisnya. Sebelumnya Purbo mengaku merantau di Bali. Di sana ia bekerja sebagai perajin perak di milik majikan yang banyak menjual hasil kerajinan pada turis-turis asing. Tidak jarang para turis itu terkadang ikut masuk ke tempat pembuatan kerajinan di bagian belakang rumah majikannya. Itulah saat-saat ia berkenalan dengan turis dari Jerman yang selanjutnya masih berhubungan baik dengannya meski ia pindah ke Mojokerto.
Pada 1989 saya pindah ke Mojokerto dan mendirikan usaha ini. Hasil kerajinan saya tetap saya pasarkan ke majikan yang ada di Bali. Rupanya, karena sudah hubungan baik, turis itu malah datang langsung ke Mojokerto untuk mengambil hasil kerajinan perak dari Purbo. Sampai sekarang hubungan itu masih terjaga dengan baik. Bahkan, saat krisis global melanda, orang Jerman itu masih tetap rutin memesan barang-barang kerajinan dari perak buah tangan Purbo dan pengawainya.
Purbo juga tidak pelit ilmu, usahanya belum lama ini bahkan dijadikan tempat pelatihan membuat kerajinan perak oleh anak-anak sekolah. Selama hampir sebulan anak-anak sekolah ini belajar di bengkelnya.
Purbo yang beberapa kali mengikuti pameran ke luar negeri, mengaku hasil kerajinan tangan perak masih lebih baik daripada Thailand, India, dan China. Namun, kita katanya kalah jika sudah ngomong mesin. Mereka bisa memproduksi lebih banyak karena mendapatkan dukungan dari segala hal.
“Saya berharap suatu saat pihak-pihak terkait, terutama Menteri Perdagangan bersedia memfasilitas pameran di Jerman, sebab di sana hasil-hasil kerajinan perak menurut saya masih bagus prospeknya,” harapnya.
dokumen ms media | eastjavatraveler.com