Close Menu
eastjavatraveler.comeastjavatraveler.com
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
    eastjavatraveler.comeastjavatraveler.com
    Indonesia Keren!
    • Beranda
    • Travel
    • Cinderamata
    • Kuliner
    • Hotel dan Resto
    • Seni Budaya
    • Gaya Hidup
    • Profil
    • News
    eastjavatraveler.comeastjavatraveler.com
    Home»Traveling»Bangunan Sang Legenda
    Traveling

    Bangunan Sang Legenda

    Abdul RahmanBy Abdul Rahman18 March 2009Updated:1 October 2012
    Facebook Twitter LinkedIn Email WhatsApp

    Bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas 1,5 hektar itu, dulunya bekas asrama panti asuhan yatim piatu. Kini,  House of Sampoerna berkembang menjadi ikon kota yang berdiri perkasa.

    Melangkahkan kaki masuk ke sebuah ruangan berlantai dua, yang disebut sebagai museum House of Sampoerna. Pengunjung langsung disapa dengan aroma tembakau yang menyeruak di ruang depan.

    Setelah itu, kita dapat menyaksikan benda-benda milik keluarga Sampoerna yang kaya akan sejarah. Mulai dari foto sang pendiri perusahaan rokok ternama, Liem Seeng Tee bersama keluarga, pabrik, hingga para pekerja, dan masih banyak benda-benda bersejarah lainnya.

    Tak berhenti di situ saja, di ruangan yang dulu pernah menjadi tempat bioskop ini. Kita dapat melihat dari dekat fasilitas produksi rokok linting tangan, dan berakhir dengan pengalaman tak terlupakan melinting sendiri sebatang rokok.

    Di sini Anda dapat bergabung dengan sebanyak 3.200 wanita yang melinting rokok dengan alat tradisional. Mereka melakukannya dengan kecepatan lebih dari 325 batang rokok per jam.

    Sedangkan untuk membedakan tugas yang dilakukan para pekerja wanita itu, dapat dibedakan dari topi yang mereka pakai. Topi merah bertugas untuk pelintingan rokok, atau biasa disebut Sigaret Kretek Tangan (SKT). Dalam menjalankan tugasnya si topi merah ditarget per orang harus menghasilkan minimal 3250 batang rokok.

    Lalu kedua, topi hitam bertugas untuk pengguntingan rokok. Dalam menjalankan tugasnya, diberi tanggung jawab harus menghasilkan tiga kali batang rokok dari si topi merah.

    Dan, yang ketiga adalah topi kuning, bertugas untuk pengepakan rokok. Dalam menjalankan tugasnya, si topi kuning harus mampu menghasilkan 2.000 bungkus rokok per hari.

    Di toko museum House of Sampoerna (HoS) menawarkan berbagai macam cindera mata. Seperti miniature alat linting rokok tradisional, paket cengkeh, buku-buku menarik, kaos, dan masih banyak lainnya.

    Kondisi inilah yang mampu menarik perhatian pengunjung. Mereka datang tak hanya dari dalam kota, melainkan juga dari luar kota, luar propinsi, bahkan sampai dari luar negeri.

    Seperti yang dikatakan Rani Anggraini, Marketing Manager Hos, sejak HoS resmi dibuka pada 9 Oktober 2003 lalu, tercatat sudah lebih dari 60-an negara luar yang berkunjung ke sini. Negara luar itu antara lain, Malaysia, Taiwan, Singapura, Jepang, Inggris, Belanda, Prancis, Amerika, Australia, Italia, Jerman, dan lainnya.

    Pemandangan ini sudah biasa ditemui di sini. Dan hampir setiap hari selalu ada pengunjung yang datang. Itupun belum lagi pas akhir pekan atau liburan datang. Jumlahnya bisa meledak bukan kepalang. ”Karena HoS terbuka untuk siapa saja dan mereka yang datang tanpa dipungut biaya, kecuali di cafe” kata Rani lagi sembari tersenyum.

    Sebagian pengunjung yang datang terus bergumam kagum, diantaranya keheranan. Salah satu dari mereka tak henti mengelilingi setiap sudut bangunan yang bergaya arsitektur Belanda kuno itu.

    Seperti yang diungkapkan Roni Albertinus, 41 tahun, pengusaha asal Jakarta pada EastJava Traveler. ”Bentuk bangunannya yang bikin saya selalu penasaran, selain itu kekayaan akan nilai sejarah dan aspek edukasi yang ditawarkan sungguh besar,” ujarnya.

    Benar adanya, di dalam bangunan yang berada di Taman Sampoerna 6, Surabaya itu, dari segi bentuk memang masih asli dari dulu. Kalaupun butuh pembenahan, hanya sekedar perawatan-perawatan biasa saja tanpa harus merombak keasliannya.

    Pilar-pilar menjulang berdiri kokoh bersanding dengan kemegahan tembok dalam setiap ruang. Kaca bergaya mozaik berkemilau. Atap bevel yang menjadi kekhasan gaya Belanda menghias indah, berpadu dengan lampu-lampu kuno. Tak salah bila arsitekturnya yang cantik dan menawan ini, HoS meraih penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), melalui kategori bangunan berarsitektur penuh gaya klasik.

    Kediaman Keluarga
    Kompleks bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 1,5 hektar ini terdiri dari sebuah auditorium sentral yang luas. Dua bangunan lebih kecil di sayap timur dan barat, serta beberapa bangsal luas berlantai satu di belakang auditorium sentral.

    Bangunan di kedua sayap auditorium kemudian diubah menjadi tempat kediaman keluarga, sementara bangsal-bangsal besar menyerupai gudang dimanfaatkan untuk pengolahan tembakau dan cengkeh, peracikan, pelintingan dan pengepakan, percetakan serta pemrosesan barang jadi.

    Penjelasan lebih lanjut, auditorium sentral saat ini difungsikan sebagai museum dan sayap timur telah disulap menjadi suatu bangunan unik, yang menaungi sebuah cafe, kios, dan galeri seni. Sedangkan di sayap barat tetap dipertahankan sebagai kediaman resmi keluarga.

    Bekas Panti Asuhan
    Siapa sangka bangunan megah dan kokoh itu dulunya bekas sebuah panti asuhan yatim piatu, khusus laki-laki. Atau dikenal dengan sebutan Jongens-Weezen-Inrichting.

    Tepatnya pada tahun 1862, situs ini mulai dibangun untuk panti asuhan itu. Hingga rampung dan mulai digunakan pada 1864. Namun, akhirnya pada tahun 1912 panti asuhan ini dipindahkan ke Jalan Embong Malang, di bekas Hotel Wijnveld. Dan, kini panti asuhan yang sama masih beroperasi di Kota Batu dengan nama baru Yatim Warga Indonesia.

    Bersamaan dengan itu. Ada seorang yatim piatu dari Desa Anxi, Propinsi Fujian, Cina. Dia bernama Liem Seeng Tee, yang datang ke Surabaya semata untuk mengembara dan berdagang.

    Mulai dari Jakarta, Bojonegoro, hingga Surabaya. Waktu demi waktu yang panjang terus dilaluinya. Menerobos dan terus melalui kerasnya kehidupan. Seeng Tee, mulai dari menjajakan kue, arang di jalanan Kota Surabaya. Hingga setelah menikah, dia dan istrinya Siem Tjiang Nio menyewa sebuah kios kecil di Jalan Tjantian, Surabaya, untuk berjualan bahan makanan pokok dan produk tembakau sebagai penyambung hidup.

    Semangat Seeng Tee, tak sampai di situ. Ia juga tak lelah untuk menjajakan tembakau, dengan mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan yang ada di Kota Surabaya.

    Alhasil, pada 1913 usaha kecil Seeng Tee berkembang sedemikian rupa. Hingga mampu mendirikan sebuah perusahaan dengan nama NV Handel Maatschappij Lim Seeng Tee. Lalu di tahun 1930, nama itu berganti menjadi NV Handel Maatschappij Sampoerna.

    Dua tahun kemudian, Seeng Tee dan sang istri membeli situs bekas panti asuhan ini, untuk dijadikan tempat produksi pertama rokok Sampoerna. Sejak itulah, tempat ini dikenal dengan nama Pabrik Taman Sampoerna, yang sampai saat ini masih beroperasi.

    Nama NV Handel Maatschappij Sampoerna bertahan sampai 1963, dan di tahun itu juga berubah nama menjadi PT. Hanjaya Mandala Sampoerna (PT. HM Sampoerna).

    Sampoerna Theater
    Sebelum didirikan museum, ruangan itu pernah menjadi saksi bisu masa sejarah Indonesia. Sekaligus untuk mewujudkan keinginan sang istri, Lim Seeng Tee memutuskan menjadikan bangunan utama dari pabrik sebagai gedung bioskop (theater).

    Antara tahun 1932-1961, bangunan utama ini menjadi Sampoerna Theater, dilengkapi dengan panggung berputar dan lantai buatan berefek khusus yang sangat jarang di masa itu.

    Keunikan Sampoerna Theater, bahkan sempat mencuri perhatian Charlie Chaplin. Ketika ia datang ke Surabaya pada tahun 1932, dirinya sengaja datang dan melihat teater ini.

    Selain itu, gedung bioskop ini juga sering digunakan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, dalam serangkaian pidato-pidato kenegaraan untuk medukung perlawanan Indonesia terhadap penjajah.
    Lalu pada bulan Oktober 2002, situs ini mulai direstorasi. Untuk nantinya dijadikan Museum House of Sampoerna, yang menampilkan sejarah panjang Sampoerna dan sang pendiri, juga keluarga dan koleganya.

    Proyek restorasi inipun berhasil selesai. Dan, tepatnya pada 9 Oktober 2003, HoS yang terdiri dari Museum, Art Gallery, Cafe, dan Kiosk dibuka secara resmi oleh Katie Sampoerna, sang pemrakarsa proyek restorasi dan sekaligus pelindung HoS. Mulai saat itu juga HoS terbuka untuk masyarakat umum.

    naskah : m. ridloi | foto : wt atmojo

    east java east java attractions east java travel
    Share. Facebook Twitter LinkedIn Email WhatsApp

    Info Lainnya

    Liburan Imlek 2025, Pemkot Surabaya Siapkan Beragam Kegiatan Menarik di Kebun Raya Mangrove

    26 January 2025

    Stasiun Banyuwangi Kota Tampil dengan Sentuhan Arsitektur Osing

    7 January 2025

    Mahasiswa UNAIR Juara Pertama di Kompetisi BIP BCA, Angkat Potensi Kampung Lontong Surabaya

    22 November 2024
    Leave A Reply

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

    INFO TERBARU

    Surabaya Tampilkan Pesona Laser Air Mancur di Malam Keakraban Munas VII APEKSI

    9 May 2025

    Inovasi Kedai Kopi Digital UB Angkat Daya Saing Desa Wisata Kopi Banyuwangi

    3 May 2025

    Hari Kartini, Aston Madiun dan KKI Gelar Nguri-Uri Budhoyo Usung Pesona Pengantin Adat Yogyakarta

    29 April 2025

    ARTOTEL TS Suites Surabaya Jadi Pilihan Favorit Staycation Saat Lebaran 2025

    7 April 2025

    72.500 Wisatawan Kunjungi KBS Saat Libur Lebaran, Target 100 Ribu Pengunjung

    6 April 2025

    Mojotirto Festival 2025, Momentum Refleksi dan Pelestarian Air di Mojokerto

    23 March 2025

    ARTOTEL TS Suites Surabaya Gelar Earth Hour 2025, Matikan Lampu Satu Jam untuk Bumi

    22 March 2025

    Sambut Ramadan, Pemkot Surabaya Hiasi Kota dengan Ornamen Bernuansa Timur Tengah

    3 March 2025
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    • Tentang Kami
    • Iklan
    • Komunitas
    • Video
    • Surabaya
    • Indonesia
    • Kontak
    • Arsip
    © 2025 eastjavatraveler.com | stunning east java

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.