Surabaya, Surabaya, oh Surabaya. Kota kenangan, kota kenangan, takkan terlupa. Begitulah penggalan lirik lagu berjudul Surabaya yang menggema di seantero gedung Balai Budaya, Kamis (18/8) malam.
Lagu ini sekaligus menandai berakhirnya Surabaya Cross Culture Folk and Art Festival 2016. Sembari bergandeng tangan, seluruh partisipan Festival Seni Lintas Budaya berbaur diatas panggung dan mendendangkan lagu ini bersama-sama.
Festival yang ke 13 kalinya diselenggarakan di Surabaya ini juga merupakan ajang untuk memeriahkan HUT RI. Festival yang menggabungkan berbagai budaya dalam satu panggung ini membuktikan bahwa Surabaya merupakan etalase bagi kolaborasi budaya.
“Kita berharap agar kegiatan festival ini akan mempererat jalinan kerjasama dan kemitraan pada bidang kesenian dan budaya,” ungkap Eko Hariyanto, Asisten Kesejahteraan Rakyat, yang membacakan pidato Walikota Surabaya yang berhalangan hadir.
Gemerlap lampu menyinari panggung, ditambah asap buatan juga dentuman musik, seakan menyihir para undangan yang hadir. Terlebih disuguhi dengan penampilan dari berbagai budaya baik asing maupun luar negeri makin menambah semarak acara ini.
Acara dibuka oleh grup musik Saung Swara dari Salatiga yang membawakan karya dengan alat-alat musik bikinan sendiri. Disusul performa dari grup luar negeri seperti Idaho, Seoul, Estonia, Polandia dan Rumania. Misalnya saja pada penampilan negara Idaho yang menggabungkan seni musik dan seni tari, bahkan mereka bermain perkusi hanya bermodalkan hentakan kaki yang membentuk nada, tentu saja dengan tarian yang khas.
Untuk penampilan puncak, diisi oleh kolaborasi dari beberapa kesenian. Misalnya saja tari-tarian tradisional Surabaya bersanding dengan budaya reog Ponorogo. Riuh tabuhan gong, gamelan, pun suara sinden dengan manisnya mengukir secuil memori di hati tamu lokal hingga seniman mancanegara.
naskah dan foto : hilda meilisa rinanda