Ada banyak rasa yang tak terungkap. Meski saat kaki melangkah, seluruh katup indra sepenuhnya terbuka. Menggali legenda yang tersimpan rapat di balik tanaman yang menghampar dan gemuruh air terjun yang berdiri bak pilar raksasa.
Pagi baru saja bergerak. Dingin udara yang menyengat, tak menyurutkan niat sepasang muda-mudi yang berjalan ke arah air terjun. Wajah mereka perlahan mulai basah. Dan dalam beberapa detik saja, mereka sudah berdiri di atas batu kali yang di beberapa sisi mulai melumut.
Tawa mereka lepas, lalu tenggelam dalam gemuruh suara air terjun. Sementara di sekitar, beberapa pengunjung kawasan wisata Madakaripura melirik sekadar ingin tahu.
Pernik-pernik seperti ini akan selalu kita temui di kawasan wisata yang berada di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo ini. Tawa riang pengunjung, suara air terjun yang bergemuruh, dan misteri yang terungkap. Seperti mitos muksanya Mahapatih Gajah Mada, atau kepercayaan tentang Madakaripura yang disebut-sebut sebagai salah satu jembatan spiritual untuk menggapai sisi dunia yang lain.
Di beberapa malam, sejumlah orang yang percaya, datang dan nyepi di Madakaripura. Sebagian dari mereka percaya, apa yang dilakoni, kelak akan memiliki arti tersendiri. Di luar itu, proses semedi yang mereka lakukan adalah bentuk penghargaan pada nenek moyang.
“Ini sudah kami jalani turun temurun. Sejak jaman bapak saya masih muda, eyang kakung, dan mbah buyut. Kami berkeyakinan, para raja dan tokoh penting di Jawa juga melakukan hal yang sama di sini,” kata Joko Wasis, 54 tahun, warga Lumajang.
Pada EastJava Traveler, kakek delapan cucu ini mengaku sudah nglakoni proses ini sejak 25 tahun silam. Beberapa kali, ia memang dapat anjuran agar tidak melakukan semedi di Madakaripura. “Tapi ya gimana lagi. Ndak sreg kalau ndak di sini,” katanya.
Nama Madakripura, konon terkait erat dengan sejarah panjang Kerajaan Majapahit. Seperti kita tahu, di masa kejayaannya, Hayam Wuruk dan Gajah Mada berhasil menyatukan bumi Nusantara yang membentang dari Wanin hingga Madagaskar. Gajah Mada yang lihai dalam strategi, diplomasi, dan perang, berhasil meruntuhkan kepercayaan raja-raja Nusantara di masa itu, sehingga mereka mau berucap janji setia dalam naungan Surya Majapahit.
Darimana Gajah Mada mendapat kelebihan itu? “Memang sulit untuk mencari tahu kebenarannya,” kata Joko Wasis. Tapi ia percaya, di jaman dulu, proses penggemblengan yang harus dijalani seseorang agar memiliki kelebihan khusus mesti melibatkan banyak hal. “Baik penggemblengan fisik, atau non fisik,” kata pria yang dalam kehidupan sehari-hari aktif sebagai petani ini.
Madakaripura, lanjut Joko, dipilih oleh Gajah Mada sebagai tempat bertapa karena keyakinan bahwa ini bukan tempat sembarangan. Dan terbukti, Gajah Muda memperoleh kesaktian dan kepercayaan untuk mempersatukan tanah Nusantara. “Katanya pula, beliau menghabiskan sisa usia juga di sini sampai akhirnya muksa menuju Nirwana,” kata Joko.
Muksa berarti sebuah kondisi, ketika seseorang pergi meninggalkan dunia bersama raganya. “Yang bisa melakukan itu hanya orang-orang yang disucikan. Beberapa raja tanah Jawa juga memasuki tahap penyempurnaan seperti itu, misalnya Sri Aji Jayabaya. Kalau dalam pewayangan, di antara Pandawa Lima, hanya Puntadewa yang bisa masuk surga bersama raganya,” papar Joko.
Tempat Terakhir
Nama Madakaripura, lebih tepatnya disebut dengan nama Mada Kari Pura, memiliki arti ‘tempat tinggal terakhir’. Pengunaan nama ini diambil dari kepercayaan masyarakat sekitar yang mengatakan, disinilah Gajah Mada melewati masa akhir hidupnya.
Beberapa catatan menyebut, setelah perang Bubat yang sangat legendaris itu, Sang Maha Patih Gadjah Mada mencoba untuk nyepi di sini. Ia merasa gagal mewujudkan sumpahnya menyatukan Nusantara. Sehingga menenggelamkan diri dalam kesunyian dan terus berdoa pada Sang Pencipa. Sampai akhirnya, ia meninggal dunia dalam kesunyian yang tiada tara.
Disaksikan butiran-butiran abadi air terjun yang memantulkan cahaya matahari dan menciptakan pelangi, tangga warna dari Nirwana.
Air yang turun deras dan memantulkan bianglala ini kemudian dikenal sebagai air suci ‘Tirta Sewana’. Air ini, dipercaya memiliki kelebihan lar biasa sehingga bisa menyembuhan orang sakit dan bisa membuat kita awet muda.
Di luar mitos ini, Madakaripura dikenal sebagai tempat wisata alam terbuka yang menonjolkan daya tarik air terjun dengan ketinggian sekitar 200 meter. Air terjun ini berkumpul di relung sempit dengan diameter 25 meter.
Kawasan wisata ini berada sekitar 620 meter diatas permukaan air laut, dan terletak di kawasan Tengger, tak jauh dari Bromo. Tak heran jika beberapa travel agent yang menyiapkan Bromo sebagai daerah tujuan, biasanya juga menyisipkan Madakaripura sebagai tempat tujuan wisata.
Sumber di Madakaripura menyebut, sebenarnya ada lima air terjun di kawasan ini. Dengan gamblang kita bisa melihat tiga air terjun yang ada. Sementara dua lainnya, mesti dicari karena tersembunyi di balik air terjun yang lain.
Sementara di tengah tebing, di balik air terjun yang paling besar, terdapat rongga menganga yang melintang secara horisontal. Penduduk setempat percaya, di lubang inilah Sang Patih Gadjah Mada biasa duduk diam, bersemedi dalam keheningan rasa.
Gampang Dijangkau
Untuk mencapai tempat ini, kita datang dari Bromo atau langsung dari Surabaya. Keduanya bisa dilewati dengan jalan yang relatif mudah. Hanya saja, sesampai pintu gerbang Madakaripura, jalan yang dilewat sedikit menyempit. Di sini kita mesti membeli tiket masuk sebesar Rp 2.500.
Jika Anda membawa kendaraan pribadi bisa diparkir di sini. Sementara kalau datang dari Bromo, bisa menggunakan layanan ojek yang tarifnya di kisaran Rp 25 ribu. Dan biasanya, sopir ojek akan mengantar kita sampai di gerbang ini.
Selanjutnya, wisatawan akan diminta untuk jalan kaki dari pintu gerbang ke lokasi yang jaraknya kurang lebih dua kilometer. Dulu, pemerintah kabupaten setempat sebenarnya sudah membangun jalan setapak yang sudah di-plester dan fasilitas kamar kecil di sini. Sayang, tahun 2002, banjir besar mengempur dan meluluhlantakkan fasiltas yang ada.
Anda juga bisa menafaatkan jasa guide dari warga setempat untuk mengantar ke lokasi. Kalau tertarik menggunakan mereka, biayanya sekitar Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu sekali antar.
Di sepanjang jalan setapak ini kita bisa menikmati suguhan alam yang indah. Seperti tanaman merambat, jajaran pepohonan di tebing kiri dan kanan, dan masih banyak lagi. Sampai di titik tertentu, kita akan mendengar gemuruh air terjun dan udara sejuk yang mendadak basah karena percikan air.
Ada baiknya, menjelang sampai di lokasi, Anda mengamankan barang-barang berharga yang berpotensi rusak jika basah. Atau kalau takut basah, sewa saja payung yang biasanya dipajang dengan bea sewa Rp 2.000-an.
naskah : hendro d. laksono | foto : boby np/matanesia
1 Comment
Tempatnya baguss tapii sayang ù?tü? keamanannya masih belum bnr2 trjga… Krna pnduduk ?ï sekitar yng terlalu Primitif ?i?? juga ?ï sebut sbgai kaum penjegal…