Batik tulis sudah menjadi warisan budaya yang telah diakui UNESCO sejak 2009, sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi. Keberadaan kain bercorak tradisional ini perlahan semakin populer di kalangan masyarakat, ragam batik baru pun terus bertambah sesuai dengan identitas masing-masing daerah. Perlahan, setiap daerah memiliki karakteristik sendiri, sejalan dengan lambang identitas dari masing-masing suku di Indonesia.
Jika dulu batik hanya dimiliki beberapa daerah saja, sekarang hampir tiap daerah punya batik masing-masing. Dewi Saraswati Batik Surabaya misalnya, adalah salah satu perajin batik yang tetap eksis dengan tampilan identitas budaya lokal Jawa Timur. Ikon kota pahlawan Suro dan Boyo (Hiu dan Buaya) juga tak luput dari kepiawaian para perajin Batik Surabaya dalam membuat motif dua hewan ini pada selembar kain sutra. Kerajinan lokal yang tak hanya memiliki harga jual tinggi, namun mampu bercerita dengan beragam motifnya.
Sekilas koleksi batik Dewi Saraswati tidak berbeda dengan batik-batik daerah lain. Rumah produksi kerajinan batik yang berdiri sejak 2004 ini memang terus tampil dengan motif-motif baru. Kini, motif ayam bekisar tengah menjadi primadona di galeri batik yang berlokasi di Jalan Jemursari Utara II/19 Surabaya. Motif yang tengah menjadi andalan ini dipilih bukan tanpa alasan, ayam bekisar adalah fauna khas Jawa Timur yang dikenal memiliki pendirian kokoh. Disamping itu, ada juga motif bunga teratai yang mampu memikat para pecinta batik ataupun pembeli. Selain bentuknya yang artistik, bunga teratai dipilih seiring sejarah flora tersebut pada masa Kerajaan Majapahit yang dianggap sebagai lambang perdamaian nusantara.
“Pemilihan motif ayam bekisar dan bunga teratai dipilih tidak hanya kedua motif tersebut memiliki bentuk yang artistik, melainkan ada cerita tersendiri dari kedua ikon tersebut”, ujar Putu Sulistiani sembari menunjukan batik bermotif ayam bekisar yang tengah dikerjakan para perajin batik sore itu.
Seluruh proses pembuatan kain batik di Batik Surabaya masih dikerjakan secara manual, hanya menggunakan tangan-tangan terampil dengan bahan pewarna sintetik dan alami. Sudah pasti, butuh waktu lama hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikan selembar kain batik yang berkualitas. Hal inilah yang membuat kerajinan lokal kebanggaan Indonesia ini memiliki nilai jual cukup tinggi, di tempat ini para pecinta batik harus merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa membawa pulang selembar kain batik. Untuk kain batik bermotif ayam bekisar bebahan sutra misalnya, dengan ukuran panjang 2,2 meter dan lebar 1 meter ditawarkan dengan harga 7,5 juta hingga 10 juta rupiah, tergantung kualitas bahan dan kerumitannya. Disamping itu, ada batik tulis berbahan katun yang ditawarkan jauh lebih murah, hanya 250 ribu hingga 3 juta rupiah.
Baju siap pakai dengan model yang bervariasi juga turut ditawarkan di tempat ini, tidak ketinggalan model batik sarimbit juga terpampang rapi pada sudut galeri yang bersebelahan dengan lokasi para perajin menyelesaikan pola-pola gambar pada sehelai kain batik.
Selain sebagai tempat untuk menjual batik tulis, Putu Sulistiani pemilik Batik Surabaya Dewi Saraswati ini mengaku, rumah produksinya kerap kali dijadikan rujukan tempat wisata bagi mereka yang ingin mengetahui bahkan belajar tentang proses pembuatan kain batik. Mulai dari proses pencucian kain, menggambar pola, pewarnaan, hingga bagian terakhir dengan melakukan tekhnik “nglorod”, yaitu proses pelepasan lapisan lilin malam pada kain.
Untuk memperluas pasar, wanita asal Bali ini sering mengikuti ajang pameran di Surabaya dan Jakarta, bahkan kerajinan hasil dari tangan-tangan terampil 42 orang karyawannya ini pernah dipertontonkan di Swiss dan Jerman.
naskah & foto : rangga yudhistira