Di sebuah perkampungan padat, bersebelahan dengan komplek perumahan mewah, candi itu berdiri. Merenung penuh arti.
Berdiri di tengah perkampungan yang sangat padat di Dukuh Badut, yang wilayahnya terbagi secara administratif masuk Desa Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Dan, secara pemetaan wilayah Candi Badut berada dalam kawasan wilayah Desa Karang Widoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Saat berkunjung ke sana, EastJava Traveler menempuh rute perjalanan dari Kota Malang menuju Tidar, kemudian ke Jalan Merjosari Dinoyo baru setelah itu lanjut menuju Kecamatan Sukun untuk tujuan Desa Karang Besuki. Sampai di desa itu, kami sempat kebingungan mencari lokasi Candi Badut, karena posisi candi ini berada di dalam perkampungan warga. Selain itu akses masuknya pun sempit dan itupun sebagian adalah tanah milik warga.
Kondisi inilah yang juga menjadi sekian alasan beberapa wisatawan enggan berkunjung ke sana. Seperti dikatakan Kaslan, Juru Pelihara Candi Badut. ”Kebanyakan para pengunjung setelah sampai di sini berkeluh sulitnya mencapai Candi Badut,” ujarnya.
”Sehingga jumlah pengunjung yang datang perlahan-lahan menurun, bahkan yang sungguh menyedihkan beberapa orang luar Kota Malang mengaku awam dengan candi ini,” papar Kaslan lagi.
Padahal Candi Badut termasuk salah satu peninggalan budaya yang tinggi nilai sejarahnya. Mengingat keberadaan candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun. Berada di antara banyak candi yang tersebar di wilayah Malang, yang dulunya merupakan sentra kebudayaan pada jaman Kerajaan Singosari. Meski demikian bukan berarti bentuk bangunan Candi Badut ikutan bergaya khas Kerajaan Singosari.
Menurut para ahli, bentuk bangunan Candi Badut dapat dihubungkan dengan sejarah Kerajaan Kanjuruhan yang pernah berdiri di Malang abad ke VIII Masehi. Juga diyakini peninggalan Prabu Gajayana, seorang penguasa kerajaan Kanjuruhan. Seperti yang termaktub dalam prasasti Dinoyo tahun 760 Masehi.
Ini terlihat dari ornamentasi serta gaya pahatan arcanya yang masih terlihat. Ciri dari suatu bangunan candi pada masa-masa itu adalah kakinya yang polos tanpa hiasan, hiasan dinding dengan motif kertal tempel, gaya arca yang naturalis, serta motif kepala kala yang mirip dengan Candi Dieng dan Gedong Songo.
Tiga Bagian
Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Badut memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman menyerupai bujur sangkar. Yakni berukuran 47 meter X 49 meter. ”Halaman ini adalah halaman pusat, karena sebuah konsep percandian memiliki tiga tingkatan bangunan. Sayangnya, di Candi Badut belum ditemukan indikasi dua halaman lainnya,” jelas Kaslan.
Tapi yang terlihat batu andesit bertumpuk tak beraturan, bahkan yang tersisa bagian pondasi bangunan yang terletak di sebelah utara dan selatan. Menurut keterangan Kaslan, bagian pondasi dari Candi Perwara (pengiring, red) sebelah selatan kini ditampakkan untuk suatu pembuktian jika struktur bangunan Candi Badut terdiri dari satu bangunan induk, yang didepannya terdapat tiga bangunan Candi Perwara.
Lebih lanjut Kaslan bercerita jika Candi Badut sesuai dengan strukturnya dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian kaki, badan, dan puncak.
Bagian kaki (Upapitha) disebut Bhurloka, sebuah gambaran dari alam manusia. Bagian ini ditopang oleh alas penyangga yang berbentuk persegi panjang berukuran 14,1 meter X 18,9 meter. Lapik ini terdiri dari tiga perbingkaian datar dengan tinggi masing-masing 30 centimeter, 40 centimeter, dan 20 centimeter. Bentuk kaki candi ini polos tanpa pelipit maupun ornamen yang detail. Pada sisi barat terdapat tangga selebar 1,48 meter dengan delapan anak tangga. Bentuk pipi tangga ini lengkungan berujung ukel. Sedangkan pangkal pipi tangga berhias Kala Naga. Masing-masing pipi tangga bagian luar berhias Kinara (Burung Kahyangan).
Bagian Badan candi berbentuk persegi ukuran 7,5 meter X 7,4 meter dengan tinggi 3,62 meter. Dengan bingkai bawah terdiri dari pelipit polos, padma berpelipit dan setengah bundaran berpelipit. Bagian badan ini dinamakan Vimana yang disebut Bwahloka, gambaran alam dengan langit.
Sedangkan bagian puncak yang dinamakan Cikhara disebut Swahloka, gambaran alam sorgawi atau kahyangan para dewa. Namun sayangnya untuk bagian puncak candi sudah sulit untuk diamati, karena bagian ini sudah tak tampak jelas. Akibat beberapa kali dilakukan upaya penggalian di masa silam hasilnya tidak ditemukan beberapa bagian penting dari Candi Badut.
Reruntuhan Batu
Sejarah panjang melintang di Candi Badut. Mulai dari awal pembangunannya, penamaan candi, hingga penemuannya. Seperti tertera di Prasasti Dinoyo, Sejarawan Indonesia Poerbatjaraka mencoba memberi kesimpulan tentang sejarah pembuatan candi. Di dalam prasasti disebutkan adanya upaya pembuatan sebuah bangunan suci untuk memuliakan Resi Agastya. Resi Agastya menurut sejarawan Belanda Van Der Meulen yaitu seorang resi yang diagungkan oleh Raja Gajayana. Sehingga dapat dikatakan inilah yang mengilhami dibangunnya Candi Badut.
Lebih jauh Poerbatjaraka berpendapat nama kecil Raja Gajayana adalah Liswa, yang bila diterjemahkan menurut kamus sansekerta adalah anak komedi atau juga tukang tari. Hal ini jika di dalam perkataan Jawa bisa dikatakan badut.
Sedangkan pendapat lain, yang diungkapkan penduduk setempat nama Candi Badut diambil dari nama sejenis pohon yang dahulu banyak tumbuh di daerah Karang Besuki. Orang sekarang menamakannya Pohon Badutan. Pohon ini konon masih tersisa satu berada di sebelah tenggara halaman candi (di luar pagar, red).
Kembali pada isi prasasti Dinoyo. Sebagai penghormatan pada resi Agastya dibuatlah arca dari batu hitam oleh Raja Gajayana. Namun, anehnya arca resi yang semestinya kita dapati di dalam Candi Badut nyatanya tidak ada. Malah yang tertera adalah Lingga-Yoni, yakni lambang Siwa dan Parwati.
Di beberapa buku arkeologi yang mencatat sejarah Candi Badut. Candi ini ditemukan pada tahun 1921, dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan dari reruntuhan bebatuan bercampur tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang.
Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali di bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
Batu-batu yang ada disekitarnya kemudian dipilah-pilah dan dikumpulkan menurut jenis dan ukurannya. Atas dasar inilah kemudian dicoba untuk menyusun bangunannya. Pada tahun 1926 seluruh bagunan bagian kaki dan tubuh dapat dibangun kembali, kecuali bagian atapnya yang tidak ditemukan.
Sebagai upaya penyelamatan aset cagar budaya bangsa, pada tahun 1990-1993 kembali dilaksanakan pemugaran Candi Badut oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, melalui Proyek Pelestarian atau Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga akhirnya berwujud seperti Candi Badut yang telah berdiri saat ini.
naskah : m. ridloi | foto : wt atmojo