Sepasang suami istri pernah tinggal di Desa bernama Kedungras, yang saat itu merupakan salah satu desa penyuplai padi untuk Kerajaan Majapahit. Pasangan suami istri itu bernama Joko Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin. Seiring waktu sebagai balas jasa, mereka kemudian diajak ke Majapahit untuk dinaikkan derajatnya. Alih-alih menerima anugerah itu dengan senang hati, mereka malah menolak dengan alasan ingin mempertahankan Desa Kedungras sebagai sumber penyuplai padi bagi kerajaan.
Karena mendapat perintah raja, prajurit Majapahit melakukan segala cara untuk membujuk mereka dimulai dari cara baik-baik sampai cara memaksa. Kemudian setelah ditangkap, Joko Pandelegan meminta ijin masuk ke lumbung padi, sementara istrinya meminta ijin mengambil air di sumur. Tak disangka tiba-tiba keduanya malah menghilang tanpa bekas. Entah melarikan diri, entah meninggal, entah di telan bumi atau naik ke nirwana.
Atas perintah raja kemudian, untuk memperingati tanda menghilangnya Joko Pandelegan, bekas lumbung padi tempat tepat di mana Joko Pandelegan menghilang dibangunlah Candi Pari, sementara tempat menghilangnya Nyai Roro Walang Angin dibangun Candi Sumur. Desa Kedungras pun berganti nama menjadi Desa Candi Pari. Candi Pari sendiri berada di Dusun Candi Pari Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Candi Pari merupakan satu – satunya candi peninggalan Kerajaan Mojopahit yang memiliki pola mirip Candi Khamer (Birma) dan Champa (Thailand atau Vietnam).Hal ini menurut Syahroni, sumber EastJavaTraveler sekaligus juru kunci Candi Pari diperkirakan karena penduduk sekitar Candi Pari saat itu adalah pengungsi dari Kerajaan Champa sehingga mempengaruhi arsitektur pembangunannya. Seperti banyak peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya, Candi Pari dibuat dari bahan batu bata merah. Candi ini dibangun sekitar abad 13 dibuktikan dengan adanya pahatan angka tahun 1293 saka (1371 M) di ambang pintu masuk candi.
Candi Pari selain bentuk arsitekturnya juga memiliki keunikan lain disbanding candi lain peninggalan Majapahit. Yakni minimnya hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya hiasan berupa teratai dan guci Amerta di kiri kanan bagian candi. Keunikan lainnya adalah tangga pintu masuk. Jika candi – candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju pintu candi, maka pada Candi Pari terdapat bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu dengan tangga di kiri dan kanan. Di dalam candi sekarang hamper hanyalah ruangan kosong, hanya terdapat beberapa batu, arca – arca tak utuh serta balok kayu.
Banyak peninggalan Candi Pari saat jaman penjajahan diangkut ke Belanda, seperti patung-patung tapi sekarang sudah disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Pemugaran pun sempat dilakukan pada tahun1994-1999. Dengan perbaikan tambal sulam penambahan batu bata baru yang umumnya sekarang dicirikan terlihat hitam dan berlumut.
“Mengapa bisa terlihat seperti itu, kalau menurut saya sendiri batu bata lama memang benar-benar batu bata, mungkin buatnya tidak pakai campuran, 100% tanah liat asli dan pembakaran sampai matang. Kalau yang baru banyak campurannya terutama sekam kulit padi yang kasar dan pasir, dan pembakaran tidak sampai 100%.” pungkas Syahroni.
naskah|foto : muchson darul fatoni