Menurut catatan sejarah, pada abad 19, di masa kolonial Belanda, Pasuruan dikenal sebagai kota pelabuhan. Banyak hasil bumi dari daerah-daerah lain di Jawa Timur, dibawa ke kota ini. Kemudian, distribusikan ke pulau-pulau lain di Indonesia. Distribusi ini menggunakan perahu berukuran sedang hingga besar yang berkumpul di Pelabuhan Pasuruan.
Selain membawa hasil perkebunan dan pertanian ke pulau lain di Indonesia, ada juga yang dibawa ke Eropa. Itu sebabnya, selain di Surabaya, pelabuhan di Pasuruan dianggap sebagai sentra distribusi hasil bumi yang sangat strategis. Bahkan ada sebuah catatan sejarah menyebut, Pasuruan adalah kota pelabuhan terbesar di Jawa saat itu.
Pasuruan sendiri, berkembang menjadi kawasan perdagangan yang sangat ramai. Konon, asal nama Pasuruan diambil dari ‘pasar uang’. Sebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Mengingat kejayaan Kota Pasuruan saat itu, diperkirakan melebihi Kota Surabaya.
Selain itu, Pelabuhan Pasuruan juga melayani angkutan perdagangan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Tak mau kalah, warga pribumi juga banyak yang memanfaatkan pelabuhan ini sebagai ladang mata pencaharian. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, mereka menitipkan hasil pertanian mereka agar bisa dijual ke pulau lain di Indonesia.
Kini, imaji kota pelabuhan ini sudah berubah. Seiring perkembangan zaman, Pelabuhan Pasuruan harus bersaing ketat dengan pelabuhan-pelabuhan lain. Namun demikian, pelabuhan ini masih melayani sirkulasi lalu lintas laut. Selain melayani penumpang dari Kota Pasuruan, pelabuhan ini juga melayani penumpang dari kota atau daerah lain seperti Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang.
Pelabuhan ini juga melayani transportasi untuk sektor industri. Komoditi dominan yang melalui Pelabuhan Pasuruan adalah kayu yang jumlahnya mencapai 54.144 m3 untuk bongkar. Sedangkan untuk dimuat keluar dari Kota Pasuruan masing-masing adalah 815 ton garam, 816 alat berat dan 130 ton bahan lainnya.
Potret keemasan Pelabuhan Pasuruan memang berubah. Jumlah kapal yang bersandar di pelabuhan yang ada di Kali Gelombong kian menyusut saja. Sumber dari Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMPPT) Kabupaten Pasuruan, pada tahun 2004, jumlah kapal mencapai lebih dari 37 ribu. Tahun 2005 hingga 2007, terus menurun hingga tersisa 19 ribu-an. Tahiun 2008, jumlah kapal sempat meningkat menjadi 24 ribu. Tapi dibanding tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih jauh dari impian.
budi irawan | indonesiaimages.net