Tentu jadi pertanyaan besar. Bagaimana sebuah majalah ber-Bahasa Jawa, masih bertahan di jaman yang bergerak cepat seperti sekarang. Adalah Majalah Panjebar Semangat, sebuah penerbitan yang memiliki kantor redaksi dan percetakan di Jl Bubutan Surabaya. Tak jauh dari Gedung Nasional Indonesia dan Makam dr Soetomo.Terbit kali pertama pada Sabtu Wage, 2 September 1933, Panjebar Semangat membawa semangat untuk membangun nasionalisme. Majalah ini lahir atas prakarsa dr Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo. Meski bukan media pertama di Indonesia, Panjebar Semangat disebut-sebut sebagai salah satu media tertua di Indonesia yang masih eksis sampai sekarang. Dan sejak awal terbit hingga sekarang, Panjebar Semangat tetap kukuh menggunakan Bahasa Jawa.
Sesuai namanya, Panjebar Semangat terbit untuk mengobarkan semangat kemerdekaan dari belenggu penindasan pemerintah Belanda. Agar tidak terlihat mencolok, beberapa konten diisi dengan rubrik budaya, mengingat pemerintah Belanda sangat ketat terhadap media-media yang kental akan unsur propaganda didalamnya.
Saat Agresi Belanda I dan II, Majalah Panjebar Semangat sempat berhenti terbit. Karena situasi saat itu memang sangat tidak memungkinkan. Ditambah kenyataan, banyak warga surabaya memilih untuk mengungsi keluar kota.
Di masa kemerdekaan, Panjebar Semangat beberapa kali dijadikan tempat belajar menulis oleh tokoh-tokoh penting di Indonesia. Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Harmoko. Sebelumnya, Presiden Soekarno juga pernah mengungkapkan harapanya dalam sebuah tulisan untuk media ini pada ulang tahun yang ke-20 Panjebar Semangat. “Kabeh madjalah kang mbijantu marang perdjoangan nasional gedhe gunane. Ta’dongakake muga-muga Panjebar Semangat lestari mbijantu perdjoangan kita iki,” tulis Soekarno. Artinya kurang lebih, “Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar manfaatnya. Saya doakan semoga Panjebar Semangat lestari membantu perjuangan kita”.
Di masa kejayaannya, Majalah Panjebar Semangat pernah dicetak hingga ratusan ribu eksemplar. Seiring perjalan waktu, oplah majalah ini tinggal tersisa sekitar 25 ribu eksemplar. Dalam gempuran modernisasi dan globalisasi, majalah ini masih dinikmati pembacanya yang tersebar di Jawa, Lampung, bahkan Malaysia, Suriname, dan Belanda.
naskah dan foto : farid rusly | eastjavatraveler.com