Kota Malang memiliki banyak bangunan-bangunan tua peninggalan masa pendudukan Belanda. Salah satunya adalah Gereja Paroki Hati Kudus Yesus yang berada di kawasan Kayutangan (Kajoetangan Straat), tepatnya di Jalan Mgr. Soegijopranoto 2, sebelah utara Alun-alun Malang.
Sejarah yang mencatat berdirinya gereja sebagai saksi eksistensi umat Katolik sejak masa pendudukan Belanda ini sendiri cukup beragam. Namun, berdasarkan informasi yang disampaikan Kepala Paroki Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan Romo Yakobus Hugo Susdiyanto O.Carm, sesuai dengan buku seabad Paroki Hati Kudus Yesus, tercatat 4 Juni 1897 ditetapkan sebagai waktu berdirinya bangunan gereja ini.
Tidak mudah dalam proses penentuan waktu pendirian. Pada masa itu, Mgr. Walterus Jacobus Staal S.J. adalah orang berjuang untuk mengurus pengesahan pendirian gereja ini. Dimulai pada 4 Januari 1897, Mgr. Staal mengajukan ke pemerintah Hindia Belanda mengenai pembentukan stasi Malang, hingga dengan keluarnya surat keputusan Gouvernements-besluit yang menyatakan pada 4 Juni 1897 gereja ini dinyatakan resmi mendapatkan ijin berdiri.
Ada pula yang menyatakan ijin berdirinya gereja adalah 19 Januari 1897, 7 Juni 1897 atau bahkan 2 Juli 1897 dengan berbagai pedoman. Namun, akhirnya ketidakpastian itu diyakinkan kembali sesuai dengan adanya keputusan rapat pleno Dewan Paroki Hati Kudus Yesus Malang yang menetapkan pada 4 Juni 1897 adalah berdirinya gereja. Hal ini berpedoman pada Gouvernements-besluit sebagai landasan hukum.
Lantaran, keberadaan Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan sejak masa pendudukan Belanda, tak salah bila membuat gaya bangunan gerejanya kental dengan gaya neo gotik. Dan, pada masa itu juga sebelum berdiri bangunan gereja, paroki Hati Kudus Yesus (HKY) yang dipimpin Romo Godefriedus Daniel Augustinus Jonckbloet. Mulanya tidak memiliki gereja dan bahkan sempat menumpang di pendopo Kabupaten Malang masa Bupati Kanjeng Raden Aryo Tumenggung Notodiningrat.
Ketika itu, pendopo berubah menjadi gereja Katolik lengkap dengan orgel, kamar pengakuan dosa, mimbar dan bangku komuni. Hingga delapan tahun kemudian setelah ijin pendirian keluar, tepatnya tahun 1905, barulah Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan dibangun di utara Alun-alun Malang.
Ya, bangunan itu adalah gereja Katolik tertua di Kota Malang dengan gaya neo gotik yang diperkenalkan arsitek Belanda terkenal pada masanya Dr. P.J.H Cuypers (1827-1921). Seni bangunan itu merupakan ciri khas bangunan abad pertengahan abad 19 dengan bentuk struktur gedung yang tinggi.
Model struktur tersebut memiliki kerangka kokoh pada dinding dan atap yang berfungsi sebagai penutup. Lalu diletakkan jendela dan pintu yang besar pada dinding yang dibangun dengan konstruksi skelet. Hal ini nampak pada tembok luar gereja yang ditopang tiang penyangga dinding berbentuk persegi. Juga pada jendela-jendela dan pintu-pintunya berbentuk lengkungan meruncing ke atas.
Tampak kejauhan, gereja itu menjadi penanda Kota Malang, terutama pada dua menara yang memiliki ketinggian sekitar 33 meter. Menara itu dibangun pada masa Mgr. Clemens van der Pas, O.Carm ketika diangkat sebagai Prefek Apostolik Malang yang pertama pada tahun 1927. Kemudian setelah dana diserahkan tahun 1930, pembangunan dilakukan arsitek Ir. Albert Grunberg mengikuti gaya neo gotik Dr. P.J.H Cuypers. Gaya menara itu diubah Albert Grunberg dan sangat berbeda dari rancangan menara arsitek sebelumnya Ir. Marius J. Hulswit pada tahun 1905.
Ada cerita menarik dari menara gereja, Romo Hugo menjelaskan menara gereja sempat dua kali runtuh sejak dibangun 1930. Pertama runtuh pada 10 Pebruari 1957 ketika ada kutbah di gereja. Sebuah salib di ujung menara runtuh dan menimbulkan lubang besar pada atap gereja. Kemudian pada 27 Nopember 1967, menara kembali runtuh akibat ditabrak pesawat.
Pada peristiwa kedua ini, disertai ledakan yang mengagetkan akibat jatuhnya salib seberat 108 kilogram. Ketika itu bruder yang ada di gereja mengira ada lemparan granat, namun ternyata salib itu diserempet pesawat yang sedang mengalami kerusakan mesin. Pesawat yang masih sempat dapat terbang setelah menabrak atap gereja ini akhirnya jatuh di kawasan Buring, Kedungkandang, Malang.
Hingga sekarang ribuan umat Katolik yang datang mengikuti kegiatan ibadah di gereja ini yang dibuka setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan bangunan gereja saat ini telah menjadi ikon tersendiri bagi Kota Malang. Di saat tertentu pula bila beruntung, kita akan berjumpa dengan wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke sini dalam rangkaian city tour mereka. Mengingat keberadaannya yang berada di kawasan bangunan masa lalu Kota Malang. Di depannya ada Resto Oen, Alun-alun, Masjid Agung Malang, bangunan kantor pemerintahan, Tugu Malang, dan beberapa lainnya.
naskah: m. ridlo’i | foto: farid rusly