Sejak ditetapkan pada tahun 2009 lalu batik sebagai world heritage, setiap 2 Oktober di Indonesia kita peringati sebagai Hari Batik Nasional. Begitu banyak mahakarya pelestari seni batik terlahir di bumi tercinta. Salah satu yang telah dilakukan Lulut Sri Yuliani.
Tidak salah memang lantaran kegigihannya dalam menciptakan sebuah kreasi batik dari limbah mangrove yang diolahnya menjadi bahan dasar pewarna batik, hingga diangkat sebagai pakem dalam setiap helai batik yang dikenal dengan sebutan Batik Seru ini, membuat wanita kelahiran Surabaya, 24 Juli 1965 ini meraih penghargaan Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta tahun 2011 lalu.
Batik Mangrove karya Lulut sendiri juga sudah populer, tak hanya di Surabaya, melainkan juga sudah go international. Batik dengan motif ekosistem mangrove, laut, dan berbagai corak khas Suroboyoan seperti ayam bekisar dan lainnya ini banyak diburu pecinta batik. Baik ketika even pameran, atau bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang langsung ke tempatnya.
Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2007 hingga kini, batik mangrove karyanya sudah ada sekitar 300-an pakem, bahkan lebih. Dari jumlah ini bisa tercipta ribuan motif batik. Dan, dari satu desain tercipta banyak corak, namun tetap satu pakem versi Lulut sendiri. Bahkan tidak main-main untuk menjaga kreasi karyanya, ia telah mempatenkan pakemnya.
Di samping itu, pemilik Griya Karya Tiara Kusuma ini juga mengutamakan jiwa sosial. Yakni dari hasil penjualan batik serunya, 2,5 persen hasil laba batik ini disumbangkan untuk pelestarian kawasan hutan mangrove, serta pengembangan bahan warna dari limbah olahan mangrove.
Limbah-limbah dari mangrove tersebut, selain diolah kembali oleh Lulut menjadi karya batik, juga diolah kembali menjadi berbagai produk konsumsi lainnya. Misalnya dengan menciptakan sabun alami dari buah-buah mangrove. Kemudian memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.
Dari upaya yang telah dilakukan, Lulut berpesan, agar kita sebagai manusia jangan sampai merusak lingkungan dan jangan membuang limbah lingkungan menjadi sesuatu yang merusak. “Justru dengan limbah ini kita bisa menggunakannya menjadi sebuah aset atau produk yang akhirnya menjadi roda perekonomian kita,” tegasnya.
Perkembangan terbaru, Lulut dalam waktu dekat segera membuka tempat produksi yang lebih besar. Hal ini baginya sudah tidak dapat dipungkiri lagi, karena melihat pesanan akan beberapa produknya cukup besar. Baik dari dalam maupun luar negeri. Dari sebuah usaha kecil hingga menjadi besar, menghasilkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari sebuah mahakarya berbahan limbah.
naskah: m.ridlo’i | foto: farid rusly