Ampas sari buah mangrovenya jangan dibuang! Seloroh Lulut Sri Yuliani, kepada seorang wanita yang sedang mengangkat ampas sari mangrove dari sebuah proses pembuatan sirup mangrove. Karena ampas tersebut masih dapat diolah lagi menjadi aneka makanan, dodol mangrove, kue kering, dan masih banyak lagi.
Ya, begitulah Lulut Sri Yuliani menekankan pada beberapa orang yang bekerja sebagai mitra kerja di tempatnya, Griya Karya Tiara Kusuma, Wisma Kedung Asem Indah J-28, Rungkut, Surabaya. Di sinilah Lulut begitu biasa akrab disapa, dalam keseharian berusaha memanfaatkan limbah mangrove sebagai produk olahan berbagai bentuk. “Limbah mangrove ini kami olah ada sekitar 100-an macam. Antara lain, batik, sirup, dodol, kue, sabun cuci, dan masih banyak lagi lainnya,” ujar wanita kelahiran Surabaya, 24 Juli 1965 ini.
Agar sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.
Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali. Ia juga hanya menyiapkan pakemnya. ”Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak,” kata Lulut.
Batik Mangrove karya Lulut sendiri juga sudah populer, tak hanya di Surabaya, melainkan juga sudah go international. Batik dengan motif ekosistem mangrove, laut, dan berbagai corak khas Suroboyoan seperti ayam bekisar dan lainnya ini banyak diburu pecinta batik. Baik ketika even pameran, atau bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang langsung ke tempatnya.
Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2007 hingga kini, batik mangrove karyanya sudah ada sekitar 300-an pakem. Dari jumlah ini bisa tercipta ribuan motif batik. Dan, dari satu desain tercipta banyak corak, namun tetap satu pakem versi Lulut sendiri. Bahkan tidak main-main untuk menjaga kreasi karyanya, ia telah mempatenkan pakemnya.
“Dari upaya itu juga, 2,5 persen hasil laba batik ini disumbangkan untuk pelestarian kawasan hutan mangrove, serta pengembangan bahan warna dari limbah olahan mangrove,” paparnya.
Puas dengan karya batiknya? Tentu tidak, Lulut juga membuat olahan limbah mangrove menjadi berbagai produk konsumsi lainnya. Misalnya dengan menciptakan sabun alami dari buah-buah mangrove. Kemudian memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.
Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.
Selain itu, ada juga olahan limbah mangrove menjadi sirup, bahan baku aneka kue basah maupun kering, dodol, serta berbagai aneka minuman. Dari perhatian besar yang dilakukan Lulut akan kelestarian hutan mangrove, tidak salah bila berbagai penghargaan pernah diraihnya, salah satunya adalah penghargaan Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta tahun 2011 lalu.
naskah: m.ridlo’i | foto: farid rusly
1 Comment
Terima kasih atas info bermanfaat ini. Bagus banget idenya dari bu Lulut 🙂
Ngomong-ngomong mau nanya perusahaan yang dipunyai ibuk Lulut di Surabaya itu berbentuk PT, CV atau home industri? Terima kasih sebelumnya.