Kota Surabaya menyimpan sejuta sejarah yang tak terlupakan. Ditengarai dari banyaknya bangunan-bangunan peninggalan jaman penjajahan di dalam Kota Pahlawan. Menemui tempat bersejarah di Surabaya tidaklah terlalu sulit. Di wilayah Surabaya Utara misalnya, banyak terdapat tempat yang kental dengan historial kota ini. Beberapa di antaranya adalah Makam Peneleh, Rumah Abu Han, Penjara Koblen, dan Kawasan Jalan Gula. Karena keberadaannya yang sudah lama, sayang rasanya jika kita tidak melestarikannya. Hal tersebut juga seiring dengan peran serta Pemerinta Kota Surabaya dalam melesetarikan cagar budaya ini.
Makam Peneleh
Merupakan komplek pemakaman yang dibangun kolonial Belanda pada tahun 1814. Saat itu, secara fungsi pemakaman ini dibuat untuk memakamkan orang Belanda, yang pada waktu jaman penjajahan tidak sempat untuk dikembalikan ke negaranya saat meninggal dunia. Sehingga, orang Belanda merasa bahwa makam peneleh adalah makam nenek moyang mereka.
Kompleks pemakaman ini tidak dibuat dengan cara terpaksa. Jadi, pemerintah Belanda memikirkan kompleks pemakaman ini dengan adanya pembuatan saluran air di sepanjang makam ini. Nisan yang dijadikan makam tidaklah seperti makam biasa. Dihias sedemikian rupa sehingga menjadi makam yang cantik dan elok untuk dikunjungi. “Makam peneleh ini sebenarnya sebagai saksi bisu perjalanan kota Surabaya. Ini membuktikan kalau ada penjajahan yang terjadi di Kota Surabaya,” kata Fauzi, guru sejarah SMA PGRI 29 Surabaya.
Rumah Abu Han
Rumah Abu Han ini adalah rumah sembahyang milik Han Bwee Koo. Han Bwee Koo disebut-sebut sebagai orang Tionghoa pertama yang datang dan hidup di Surabaya. Bangunan ini terletak di Jalan Karet 62. Anggota keluarga Abu Han kerap kali datang mengunjungi rumah persembahyangan ini untuk melakukan sembahyang.
Hingga sekarang Rumah Abu Han masih tetap utuh dan terawat. Arsitektur bangunan masih bergaya oriental yang terbuat dari keramik dan ukiran besi. “Di sini semuanya masih asli. Semua perabotan dibuat dari kayu jati. Keramik, besi semuanya diimport dari Tiongkok. ” kata Karno, penjaga rumah Abu Han ini. Pemerintah Kota Surabaya baru saja menetapkan rumah ini sebagai cagar budaya, karena abu Han sendiri adalah bagian sejarah dari kota Surabaya. Karena sebagai jembatan antara pemimpin orang Tionghoa di masanya, sekaligus jembatan masyarakat Tionghoa dengan penjaja Belanda. Rumah abu Han ini ada sebelum adanya gerakan 10 November. Selain itu, rumah Abu Han ini menjadi kategori cagar budaya yang tidak boleh dipugar.
Penjara Koblen
Tempat ini merupakan rumah tahanan yang terletak di Jalan Koblen, di daerah Bubutan, Surabaya. Rumah tahanan ini dulunya dibuat oleh kolonial Belanda untuk dijadikan basis militer serta asrama tentara Belanda. Namun, pada jaman penjajahan Jepang, bangunan ini berubah fungsi sebagai benteng pertahanan serta penjara orang-orang Indonesia.
Saat itu, Arek-arek Surabaya tidak tinggal diam hingga berhasil merebut kembali tempat ini pada tahun 1945. Menariknya dari penjara ini, tembok bangunan penjara masih kokoh sampai sekarang padahal sudah berumur puluhan tahun, apalagi material bangunan ini bukan berasal dari semen seperti sekarang, melainkan batu dan putih telur.
“Ironi sekali ketika penjara ini hanya tinggal temboknya saja. Mengingat bangunan ini menjadi saksi bisu kota Surabaya bahwa Surabaya pernah dijajah dua negara sekaligus, yakni Belanda dan Jepang. ” kata Fauzi, yang juga anggota komunitas pecinta Sejarah.
Jalan Gula
Jalan Gula merupakan sebuah kawasan yang terletak di Surabaya Utara. Di kawasan ini banyak tersimpan bangunan kuno bergaya oriental. Oleh karena itu, kawasan ini disebut pecinan atau perkampungan orang Tionghoa. Pasalnya, para pengusaha asal China yang bermigrasi dan bermukim di daerah tersebut dan kebanyakan dari mereka juga beragama kong hu chu. Kelenteng-kelenteng pun banyak ditemukan di kawasan ini.
Ketika Anda melewati kawasan ini, tengoklah sisi kanan dan sisi kiri. Eksotika tampak dari bangunan-bangunan tinggi, dengan atap yang meruncing pada sudut-sudutnya. Lampion-lampion merah masih bertengger di depan rumah mereka. Yang khas adalah rumah tersebut tak luput dari papan kayu jati berukirkan huruf kanji.
“Dulunya, orang Tionghoa sudah melakukan kegiatan perdagangan sejak jaman Majapahit. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan sungai dan pusat kota, sehingga memudahkan pedagang lebih mendistribusikan barang dagang mereka. Oleh karena itu, kawasan ini menjadi cagar budaya karena terkait dengan nenek moyang orang Tionghoa masa kini. ” papar Fauzi, salah satu anggota komunitas pecinta sejarah.
naskah : genoveva felicia | foto : febrianto sw