Kaki melenggang, ikuti kata hati. Dalam sekejap saja, saat masuk di kawasan ini, imaji langsung melebur dalam bingkai keindahan. Melihat bangunan-bangunan yang berjajar di depan mata.
Berada di sana membawa kita ke suatu atmosfer masa silam. Bangunan-bangunan yang ada sangat kuat dipengaruhi dua gaya. Gaya China dan gaya Kolonial. Mengingatkan kita akan nostalgia masa pendudukan bangsa asing di negeri ini.
Kehadiran mereka pula yang membawa unsur budaya asalnya. Itu juga termasuk dalam seni bangunan, walau harus melalui bermacam adaptasi terhadap pola masyarakat di Kota gresik. Melihat begitu banyak sisa bangunan lama di sana, memberi bukti betapa daerah ini sangat disukai pada masa itu.
Hal ini ditengarai dari melihat letak geografis pusat Kota Gresik yang diapit dua sungai besar. Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Dan, sebuah Pelabuhan Lama. Yang mana ketiganya dahulu dijadikan sebagai jalur perdagangan oleh para gujarat (pedagang Islam), maupun pedagang dari China, yang melakukan transaksi dengan para kolonial, yang saat itu sedang menguasai sebagian wilayah di Gresik.
Kondisi inilah setidaknya yang kemudian membawa pengaruh dari gaya-gaya bangunan di kawasan Kampung Kemasan. Karena mereka juga mendirikan bangunan untuk dijadikan tempat tinggal, bahkan tempat bisnis, untuk menjalankan roda transaksi perdagangan.
Gambaran itu, juga dibenarkan oleh Oemar Zainuddin, sumber EastJava Traveler, ragam bangunan yang ada di Kampung Kemasan, dapat dikaitkan dari sejarah yang mencatat tentang awal mula keberadaan bangunan-bangunan di sana.
Salah satu bukti kalau bangunannya bergaya China adalah terbawa pengaruh dari orang yang pertama kali tinggal di sini. Yakni seorang saudagar dari China yang terkenal sebagai pembuat emas, dia bernama Bak Liong. Karena profesi Bak Liong inilah, entah siapa yang memulai dan sejak kapan. Akhirnya kampung ini diberi nama Kemasan.
“Mungkin pula selain Bak Liong, masih ada lagi yang berprofesi sebagai pembuat emas di kampung ini,” katanya.
Lebih lanjut bapak 4 anak itu bercerita, baru sepeninggal Bak Liong kampung ini sempat mangkrak, hingga akhirnya ada seorang pengusaha kulit bernama Oemar. Dia terketuk untuk membeli bangunan-bangunan yang ada di Kampung Kemasan dari tangan Bak Liong.
Waktu berjalan, usaha Oemar terus berkembang hingga berhasil mendirikan pabrik kulit di Desa Kebungson, letaknya dekat Kemasan. Dan, saat itulah pembeli dari Belanda yang tertarik datang ke Kemasan. Hingga akhirnya menjadi rekanan bisnis Oemar, sampai mereka pun memberi saran pada Oemar sekeluarga dalam mendirikan beberapa bangunan di Kampung Kemasan.
“Saat itu usaha kulit Oemar mengalami masa emas pada 1896-1916, dengan menguasai 26 kota di Jawa Timur. Itupun belum termasuk dari luar negeri,” jelas Oemar Zainuddin, yang masih turunan ke-3 dari Oemar.
Jejak Islam
Dari sejumlah bangunan yang ada berfungsi sebgai tempat tinggal, tempat sejarah, adapula sebagai masjid yang sebelumnya hanyalah sebuah surau kecil. Bangunan ini didirikan oleh Oemar.
Pada masa itu menurut Oemar Zainuddin, kakeknya adalah seorang pengusaha yang sangat kuat dengan tatanan ajaran agama Islam. Tak salah bila hingga saat ini nuansa itu masih terasa, saat kita menginjakkan kaki di sana.
Terlebih lagi masih di sekitar kawasan Kampung Kemasan terdapat sebuah Makam Nyai Ageng Pinatih, yang dikenal sebagai ibu asuh Sunan Giri (seorang waliyullah asal Gresik).
Saat ditanya apakah ada hubungan antara Oemar dengan Sunan Giri. Pria yang akrab disapa Nud ini tidak berani membenarkannya. Karena menurutnya hingga saat ini belum ada saksi keluarga yang mengetahui silsilah asli Oemar dengan Sunan Giri. “Akan tetapi saya pernah membaca sebuah sumber bertulis huruf Arab Pego, yang didalamnya mencatat adanya garis silsilah yang menyambungkan Sunan Giri dengan Oemar,” ujarnya, sembari menunjukkan sumber literasi pada EastJava Traveler.
Gajah Mungkur
Banyak bangunan di Kampung Kemasan yang secara fisik bentuk bangunannya relatif asli, meski ada sedikit perubahan pada bagian-bagian tertentu.
Selain itu, bangunan lama yang ada relatif belum banyak yang mengalami alih fungsi, yang biasanya disertai dengan perubahan bentuk menyesuaikan fungsinya yang baru. “Memang di Kemasan, bangunan yang ada masih kebanyakan berupa tempat tinggal,” aku Ahmad, warga di sekitar Kampung Kemasan.
Seperti keindahan bangunan rumah yang diberi nama Gajah Mungkur. Ini adalah sebuah bangunan yang kental dengan gaya kolonial. Rumah Gajah Mungkur didirikan pada 1896, hanya baru ditempati pada 1902.
Menariknya di depan rumah megah itu terdapat gajah yang menghadap ke rumah tersebut. Atau berposisi membelakangi Kampung Kemasan. Ada banyak orang berpendapat, kalau rumah yang sekarang ditempati oleh menantu dari Djaelani (putra ke-2 dari Oemar) itu, bermusuhan dengan keluarga yang tinggal di Kampung Kemasan.
Tetapi pendapat itu ditepis Nud. “Itu salah, sebenarnya pembuatan patung itu lantaran Djaelani bersama istrinya membuat patung gajah hadap kerumahnya, agar lebih mudah bagi keduanya menggoda patung gajah itu,” urai pria berusia 67 tahun ini.
Inspirasi pembuatan rumah Gajah Mungkur inilah, hingga membuat Sultan Pakubuwono X dari Kerajaan Solo tertarik memberikan lahan pada Djaelani. Agar dia berkenan mendirikan bangunan serupa di Solo.
Melihat sejarah yang tergores dan keindahan bangunan di Kemasan. Nud bersama keluarga menyayangkan beberapa hal. Salah satunya kekayaan budaya tersebut belum ditangkap sebagai aset berharga oleh Pemerintah Kabupaten Gresik. Baik untuk tujuan wisata budaya maupun studi. Terbukti dengan belum adanya peraturan daerah tentang pengelolaan bangunan-bangunan di Kemasan sebagai cagar budaya.
Sayang memang, padahal animo masyarakat dari luar Gresik yang datang ke Kampung Kemasan juga luar biasa. Bahkan menurut Oemar Zainuddin, Kemasan kerap kedatangan tamu wisatawan asing dari Amerika Serikat, Belanda, Perancis, China, dan Jepang.
:: m. ridloi | foto : wt atmojo
2 Comments
ho ho ho…
ngeliat foto-foto rumah merah yang terletak di jalan Kemasan (Nyai Ageng Arem tersebut, jadi teringat masa kecil (1970-1990) yang sering mengunjungi daerah dan rumah itu terutama saat hari raya atau liburan besar sekolah.. 😀
konon bangunan tersebut di bangun pada tahun 1901-1902 (ada informasi diatas bangunan tersebut tercetak tahun pendirian rumah tersebut)… 😀 kerap kali sebutan dari rumah itu adalah ‘rumah wetan’… 😀 ciri khas rumah tersebut memiliki banyak kamar mandi antara 20-30 unit dengan berbagai model yang bahan materialnya termasuk unik karena dibuat pada jaman dulu yang kemungkinan besar bahan material tersebut berasal dari luar negeri… 😀 selain itu kamar tidurnya juga lumayan banyak sekitar 10 unit.
Yup terdengar sangat unik… 30 kamar mandi dengan 10 unit kamar tidur huhuhuhu… 😀 konon dahulu kala pemilik rumah tersebut adalah seorang saudagar yang bernama Asnar (ada lukisan gambar wajah sang saudagar tersebut di dalam rumah wetan yang di pajang di bagian atas sisi kiri rumah tersebut):D (correct me if im wrong) yang memiliki banyak keturunan dan keturunannya itu tinggal di rumah tersebut… 😀 so, that’s why the reason he built so many rooms and toilets… 😀 but actually its so unique… 😀
Di bagian belakang rumah tersebut, terdapat pohon mangga yang konon usianya hampir sama dengan bangunan rumah tersebut… 😀 ada banyak sumur dan yan jelas pada bagian belakang rumah tersebut adalah bangunan tempat sarang burung walet di budidayakan… (entah saat ini masih di budidayakan atau tidak..) 😀
Ciri khas bangunan di daerah kemasan di cat berwarna merah… dan luas per area per perumahan cukup luas (namun menurut saya yang paling luas di area kemasan itu adalah yaa rumah wetan itu..)
Namun sayang, kondisi rumah tersebut tidak terawat entah apa alasannya.. terutama pada bagian kiri (jika menghadap ke tampak depan rumah)tersebut sangat gelap dan tidak dihuni… 😀
Rumah itu di tempati oleh anak pertama dari M. Sokran Asnar (salah satu cucu dari Asnar Familly) yang bernama Rustam Efendi (cicit atau canggah dari Asnar)
Setuju dengan pendapat penulis blog ini yang mengatakan kurang adanya atensi dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikan daerah ini menjadi suatu kawasan object wisata budaya.
Yup, betul. Dulu keluarga nenek saya pernah menempati rumah foto no. 2. Nenek saya bernama Marliyah. Baru sekitar tahun 1975’an nenek sekeluarga pindah ke rumah hijau depan rumah foto no. 2, waktu itu belum dinamai Jl. Nyai Ageng Arem Arem gg. III, tapi masih bernama Kemasan No. 27. Saya juga ingat di depan rumah foto no. 2 terdapat 3 patung, yang sekarang kondisinya sudah tidak sebagus tahun 1980’an, sewaktu saya masih tinggal di Kampung Kemasan.